Jumat, 22 Juni 2012

MAKNA KEMATIAN BAGI ORANG KRISTIANI YANG PERCAYA


"MAKNA KEMATIAN BAGI ORANG KRISTIANI YANG PERCAYA"


Oleh: Silvester Nyawai


Aku memberikan hidup yang kekal kepada mereka dan mereka pasti tidak akan binasa sampai selama-lamanya dan seorang pun tidak akan merebut mereka dari tangan-Ku
(Yoh 10:28)

A.    PENDAHULUAN
Harus kita akui bahwa, cepat atau lambat hidup kita akan berakhir dengan kematian. Sang pemazmur mengatakan “sekarangpun hidup kita bahaya maut sepanjang hari” (Mzm 44:32), dan dikatakan lagi oleh Sang pemazmur “menjadi incaran sejak kecil” (Mzm 88:16). Maut bukanlah sebuah perkara yang direncanakan, akan tetapi maut itu sendiri tidak kita ketahui, kepadan datang kepada kita. Maut itu sendiri merupakan keterbatasan hidup manusia. Hidup ini dalam kenyataannya memiliki awal dan akhir, dengan demikian segala sesuatu yang kita lakukan, kita miliki, bahkan kita agung-agungkan hanyalah bersifat semantara saja, terbatas dan fana, dan semuannya itu tampa arti sekalipun. Rasul Paulus mengatakan dalam surat kepada jemaat di Efesus “kita harus mempergunakan waktu yang ada” (Ef 5:16), mengapa? karena dalam waktu yang singkat dan penuh makna ini, kita membentuk sebuah sikap dengan Tuhan, karena di dunia yang fana inilah kita membuktikan bahwa kita percaya kepada ke Mahakuasaan Allah tampa harus bertemu langsung dengan-Nya (bdk. Rm 8:24-25) (Iman Katolik; 1996; 462-463). Dengan demikian, tidak jarang juga orang bertanya-tanya, mengapa harus ada kematian, setelah mati apakah aku akan dibangkitkan dan hidup kekal.
Pada tanggal 9 Mei 2012 ini, khusunya dalam sebuah kecelakaan pewasat sukhoi yang menelan banyak korban. Kesedihan dan dukacita yang mendalam terjadi pada pihak keluarga korban, masyarakat dan Negara. Dalam situasi yang semacam ini, kasih karunia Tuhan menjadi tempat yang begitu besar bagi tujuan dan harapan dalam kalangan keluarga korban. Dalam situasi ini juga, masih ada pihak keluarga korban yang berharap atau memiliki harapan, terutama ada yang selamat dari maut tersebut. Selain mencari, doa-doa dan harapan-harapan dari jemaat yang beriman, terutama dari pihak keluarga terus menerus dipanjatkan kepada Tuhan, dengan harapan ada dari antara mereka yang masih diberikan kesempatan hidup. Doa dan harapan tersebut dimaksudkan memohon kepada Tuhan untuk memberikan mukjizat kehidupan kepada mereka yang menjadi korban jatuhnya pesawat terbang tersebut.
Hal semacam ini dapat kita katakana bahwa manusia, terutama pihak keluarga korban memiliki harapan akan kasih karunia Allah yang membawa manusia kepada kehidupan. Meskipun dalam hal ini, kematian adalah peristiwa yang secara jasmani memang membawa penderitaan, dukacita dan kesedihan yang amat mendalam, terutama bagi orang yang ditinggalkan.
Pertanyaannya adalah mengapa dalam situasi seperti ini, orang harus berdoa? apa yang menjadi pengharapan mereka?, dan mengapa harus ada kematian, pada hal katanya kita ini adalah anak Tuhan? Berdasarkan kasus di atas, ada beberapa kemungkinan, dinataranya;
1.    Pihak keluarga masih berharap, supaya keluarganya yang mengalami kecelakaan tersebut dapat terselamatkan atau terhindarkan dari kecelakaan tersebut (ada mukjizat keselamatan atau masih hidup), meskipun hal tersebut tidak mungkin.
2.    Sebagai ungkapan atau permohonan keselamatan bagi keluarga mereka yang telah meninggal dalam kecelakaan tersebut, dan dapat diterima di sisi Allah.
3.    Sebagai ungkapan kesedihan yang mendalam, dan mohon kepada Tuhan supaya memberikan kekuatan kepada mereka yang ditinggalkan.
4.    Dalam hal ini juga dapat dikatakan bahwa manusia tidak dapat mengatasi kematian atau maut yang akan menimpa dirinya. Manusia lemah, tidak berdaya, maka manusia memohon kepada Tuhan supaya menurunkan kasih karunia-Nya.  
Masih banyak harapan-harapan yang lainnya. Dalam hal ini, bagaimana cara orang beriman kepada Tritunggal Maha Kudus memandang atau menyikapi kematiaan bagi tubuhnya yang fana, dan bagaiman kehidupan  setelah kematiaan?, dan apa kematian itu menurut pandangan Gereja Katolik?
B.     APA ITU KEMATIAN?
F.X. Schouppe, Sj (2007; 5) mengatakan banyak orang ketika masih muda dan sehat (masa hidupnya) belum memberikan perhatian terhadap hidup setelah mati. Konsep tentang api penyucian, neraka dan surga ada dalam kehidupan manusia setelah ia merasa tidak mampu, sakit-sakitan dan sebagainya, baru hal ada dalam benak pikirannya. Kematiaan jasmani adalah sebuah peristiwa hidup yang tidak dapat kita hindari, artinya kita tidak dapat menjahukan diri dari kematiaan, karena pada dasarnya semua makhluk yang ada di dunia ini berakhir dengan kematiaan raganya. Dalam hal ini, tidak jarang juga manusia menyalahkan Tuhan yang harus mengakhiri hidup manusia. Dalam hal semacam ini, orang tersebut tidak melihat rencana Tuhan yang begitu besar dalam hidupnya, karena ia sudah menutup pintu hatinya akan kasih karunia Tuhan, kecintaannya kepada harta dan duniawi ini menutup pintu hatinya akan keselamatan setelah kematiaan (hidup kekal). Sebagai orang beriman kepada Yesus Kristus sebagai penyelamat, hendaklah orang beriman harus yakin dan bercaya kepada kasih Allah yang mendalam dalam dirinya dan bekerja memberikan kehidupan yang kekal dalam dirinya.
Dengan demikian, apa kematian itu?. Otto Hantz (2005; 75-82) dalam bukunya yang berjudul “Pengharapan Kristen” mengatakan bahwa kematian merupakan tantangan mendasar bagi pengharapan manusia. Menurutnya juga, kematia merupakan akhir dari sejarah hidup manusia, karena kematian juga membebaskan seseorang dari penderitaannya. Sebagai contoh kematian sebagai sebuah pembebasan dari penderitaan, ada orang-orang yang tertentu mengatakan bahwa ia sudah jenuh hidup di dunia ini, maka menurutnya mengapa memperpanjang umur, lebih baik mati. Meskipun ada orang yang demikian, ada juga segelintir orang menolak kematiaan, meskipun hal tersebut tidak dapat dihidari.
Dengan berdasarkan pada pandangan dari Konsili vatikan II (GS 18) Otto Hantz mengatakan bahwa kematian dapat menambahkan kebebasan kita pada waktu sekarang dan mendorong kita untuk hidup secara autentik (asli, sah, dapat dipercaya). Dalam hal ini, kematian mengingatkan kepada kita bahwa sejarah pribadi yang sedang kita ciptakan atau kita jalani adalah unik dan tidak dapat kita peroleh kembali setelah kematian itu datang pada kita. Menjadi sebuah pertanyaan, apa gunanya hidup secara autentik jika hidup hanya berakhir pada peristiwa kematiaan? dan mengapa kita harus hidup secara serius jika pada akhirnya kita akan mati?
Dalam hal ini, konsili Suci mengatakan “kenyataan maut sama sekali tidak terbayangkan”. Konsili juga menegaskan bahwa pewahyuan Ilahi menjankau kecemasan kita akan kematian. Kematian Kristus telah mengalahkan kekuatan maut. Ini juga memiliki makna bahwa dengan didasarkan pada pewahyuan tersebut, pengikut Kristus hidup dalam sebuah pengharapan, meskipun ia harus berhdapat dengan kematiaan.
Ada beberapa hal yang dapat digunakan sebagai pedoman bagi orang Kristiani untuk memahami kematian.
1.      Kematian Merupakan Akhir dari Perziarahan Duniawi Manusia
Orang dapat dikatakan keliru apa bila ia menganggap bahwa kematian merupakan akhir dari perziarahan hidup di duniawi ini. Kata atau pemahaman semacam ini muncul karena ia membayangkan bahwa kehidupan yang kekal sebagai kelanjutan hidup pada sekarang. Dalam hal ini harus dipahami bahwa, kehidupan kekal bukanlah kelanjutan dari kehidupan temporal. Harus dilihat bahwa manusia membangun sebuah pilihan yang mendasar, artinya semasa proses manusia hidup di dunia ini, dari waktu ke waktu merupakan pencapaian definitif hubungan manusia dengan Allah. Dengan inilah pertanyaan, mengapa kita harus mati terjawabkan, karena akhir dari kehidupan duniawi dengan melalui kematian merupakan serangkaian gerakan menuju kepada kekekalan Allah.
Jadi, kematian bukan lagi momen dan serentetan momen, hanya berbeda karena kematian merupakan momen yang terakhir dalam kehidupan manusia. Kematian juga merupana masa transisi dari kehidupan temporal dengan kehidupan yang kekal bersama Allah. Dalam hal ini juga, kematian dapat dikatakan sebagai sebuah peristiwa melalui sesuatu, bukan setelah sesuatu untuk mencapai kehidupan kekal.    
2.      Kematian sebagai Tindakan Pribadi
Deskripsi tradisional tentang kematian sebagai perpisahan badan dan jiwa tidak menunjukkan secara memadai karakter kematian personal. Tentu saja, dalam satu hal kematian adalah impersonal. Menurut Otto Hantz (2005), manusia dalam kenyataanya memiliki struktur fisik, dan kehancuran struktur tersebut adalah sesuatu yang terjadi pada manusia. Dalam hal ini, manusia bukanlah sebagai objek melainkan sebagai subjek yang bebas, dalam keterbatasan-keterbatasan kodratnya, memilih siapa yang ia inginkan sebagai pribadi. Kerena kematian mempergaruhi semua realitas seseorang, kematian sama sekali bukan sesuatu yang terjadi secara kebetulan pada seseorang dari luar, yakni kejadian yang membuat seseorang hanya pasif. Mati juga sesuatu yang terjadi dari dalam, sesuatu yang dilakukan oleh seorang pribadi. Sebalinya, peristiwa penting kematian akan mempengaruhi manusia sebagai pribadi, sebagai subjek yang bebas.
Aspek personal kematian adalah dalam kematian seseorang secara aktif membawa keseluruhan hidupnya menuju kepada kepenuhan. Melalui waktu, seseorang menentukan sebuah pilihan yang mendasar, di dalam kematian kebebasan mengambil bentuk akhirnya, dan pilihan mendasar menjadi definitif. Dalam kematian, kita membawa sejarah kebebasan kita menuju kepada suatu akhir, artinya mengapa kematian tidak dapat hanya dikatakan akhir dari kehidupan ini, tetapi permulaan akan kehidupan yang abadi, karena bergerak menuju kehidupan abadi tidak setelah mati, akan tetapi di dalam dan setelah kematian.
Kematian bukanlah peristiwa tunggal dan terpisah, karena ia tidak menyempurnakan hidup kita di dunia ini. Dalam hal ini, kematian dapat dikatakan proses seumur hidup kita di dunia ini, terutama dalam hubungan kita dengan Allah. Artinya, sejauh kita melakukan hubungan dengan Allah dalam Iman, harapan dan kasih hidup kita adalah kematian. Contohnya kita mati terhadap keakuan diri kita, keakuan yang melecehkan penciptaan Allah, keakuan yang mendominasi hidup kita. Kematian ini adalah pemberiaan diri kita kepada Allah, kerena ketaatan kita kepada kehendak-Nya, dan kita meninggalkan “keakuan diri kita” di dunia ini.
Jadi, dari sudut pandangan iman, kematian sama sekali tidak identik kemtaian klinis, karena hidup manusia lebih jauh dari pada kehidupan biologis, dan kematian manusia lebih jauh dari pada kematian klinis. Artinya kita harus membendakan antara kematian sebagai akhir dari kehidupan temporal dan kematian sebagai pilihan mendasar untuk menyerahkan diri kepada misteri Allah. Dalam kematian badani, keputusan yang dibentuk sepanjang hidup mencapai akhir. Dalam hal ini, kematian menyempurnakan kehidupan baik dari penyerahan terhadap Misteri Allah, terutama dalam pengharapan maupun dari dimensi yang berpusat pada diri sendiri untuk berada dalam keadilan total dalam hidupnya. Bagi orang Kristiani, kematian adalah proses pemberian dari sepanjang hidup dalam setiap sekarang menuju kepada misteri Allah, dalam pengharapan akan kehidupan sejati. Hendaklah dalam masa hidupnya, orang yang beriman Kristiani benar-benar mengarahkan hidupnya kepada kehendak Allah, karena dengan demikianlah ia akan mendapat kehidupan kekal.
3.      Kematian sebagai Akibat Dosa
Pertanyaannya, mengapa takut mati? Menurut Kitab Suci Perjanjian Baru, Gereja mengajarkan bahwa kematian yang kita alami secara nyata adalah akibat dari dosa yang kita miliki. Dalam pengalaman akan kematian, kedosaan menusia menuntun menuju kegelapan dan ketakutan. Dalam hubungannya dengan keadaan jasmani manusia sebagai kodrat (struktur yang diberikan), dan pribadi (kebebasan membentuk diri) maka kematian merupakan sebuah pengalaman yang sekaligus bersifat pasif dan aktif, artinya kematian merupakan sebuah peristiwa yang tidak kita pilih, seperti halnya dengan korban dan keluarga korban dalam kecelakaan pesawat sukhoi. Jika ditanya, tentu mereka menginginkan kehidupan dari pada mati.
Sebagai sebuah peristiwa yang tidak kita inginkan, kematian juga akan kita lakukan, karena kamatian merupakan penyempurnaan aktif atas keseluruhan hidup. Karena ada pandangan yang dualita kepasifan dan keaktifan ini membuat kematian menjadi kabur. Di satu sisi, kematian membawa manusia kepada kesempurnaan, di sisi lain kematian mereduksi manusia kepada ketidakberdayaan, contohnya kematiaan muncul baik sebagai tindakan aktif maupun pasif, akhir maupun kepenuhan, yang dikehendaki maupun yang diderita, dan sebagai yang kelimpahan maupun kekosongan. Karena ada pandangan yang semacam ini, maka munculah kegelapan yang menakutkan dalam kematian.
Lalu, apa hubungannya kematian sebagai akibat dosa? Dalam sejarah kita, kita memandang kematian sebagai sebuah kegelapan yang membuat takut atau menakutkan dan menyakitkan, dengan pandangan semacam ini manusia menjadi egois dan berbuat dosa kerena menolak kehendak Allah, meskipun manusia menjadi objek cinta Allah. Dalam masa hidup kita, kita bekerja menurut kehendak kita sendiri yang dipengaruhi oleh dosa dan dosa yang kita lakukan ini melipatgandakan tragedi tersebut. Karena semuanya ini, maka suraklah identitas, pilihan mendasar kita, yang seharusnya kita kembangkan. Jika kita memberikan diri kepada kehendak Allah, maka kita akan menghadapi kematian sebagai kekosongan atau sebagai kepenuhan. 
C.    MAKNA KEMATIAN ORANG KRISTIANI YANG PERCAYA
Sekalipun orang percaya di dalam Kristus memiliki jaminan hidup kebangkitan, mereka masih harus mengalami kematian jasmaniah. Tetapi orang percaya menghadapi kematian dengan sikap yang berbeda dari orang tidak percaya. Berikut adalah beberapa kebenaran yang dinyatakan oleh Alkitab mengenai kematian seorang percaya kepada Yesus Kristus.
1.      Orang Kristiani Mati Bersama Kristus
Dalam Yesus, misteri Allah sendiri memasuki keterbatasan, kerapuhan, dan kematian umat manusia. Kematian Yesus Kristus membuka pintu perdamaian antara manusia dengan Allah dan oleh kurban-Nya manusia dapat memperoleh keselamatan dan hidup yang kekal. Ketika masih berdosa dan menjadi seteru Allah, Kristus wafat bagi umat manusia untuk mendamaikan manusia dengan Allah. Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma mengatakan “karena kita sekarang telah dibenarkan oleh darah-Nya, kita pasti akan diselamatkan dari murka Allah. Sebab jikalau kita, ketika masih seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh kematian Anak-Nya, lebih-lebih kita, yang sekarang telah diperdamaikan, pasti akan diselamatkan oleh hidup-Nya” (Rm 5:9-10). Maka oleh Adam, kita manusia jatuh dalam dosa, sedangkan oleh Kristus kita memperoleh hidup yang kekal (bdk. Rm 5:12-18). Oleh ketidaktaatan Adam kita semua jatuh dalam dosa, namun oleh ketaatan Yesus kita semua dibenarkan. (bdk. Rm 5:19). Kita menerima rahmat kehidupan kekal pada saat kita dibaptis di dalam kematian Kristus, untuk dibangkitkan bersama-sama dengan Dia dan memiliki kehidupan yang baru bersama Dia (bdk. Rm 6:1-4). Meskipun berada dalam kegelapan kematian, dasar pengharpan Kristiani adalah kematian Yesus, karena oleh kematian-Nya mencapai puncak dalam kebangkitan-Nya.
Bila kematian bagi manusia merupakan keinginan dan tindakan, sesuatu yang diderita dari luar tetapi juga sesuatu tindakan internal yang menyempurnakan hidup. Hal ini juga terjadi pada diri Yesus Kristus. Kitab Suci mengatakan, kematian datang kepada Yesus dari luar “Ya Abba, ya Bapa, tidak ada yang mustahil bagi-Mu, ambillah cawan ini dari pada-Ku, tetapi janganlah apa yang Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki“ (Mrk 15:36), kematian Yesus juga menyertakan kegelapan dan kesakitan yang mendalam “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku” (Mrk 15:34). Meskipun demikian, harus kita yakini bahwa kematian Yesus merupakan kehendak pribadi-Nya sendiri. Yesus menerima kematian-Nya kerena kesetiaan-Nya kepada kehendak Bapa-Nya “janganlah apa yang Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki” (Mrk 14:36). Yesus menyerahkan Diri-Nya kepada Bapa-Nya (bdk. Luk 23:46). Artinya, kematian Yesus Kristus adalah inti dan puncak kehidupan dalam ketaatan kepada Bapa dan kesetiaan pada misi yang Ia jalankan (Otto hentz. 2005; 81).
Secara teologis dapat dikatakan bahwa dalam inkarnasi Yesus mengidentikkan diri-Nya dengan umat manusia, kendati Ia tampa dosa (bdk. Flp 2). Yesus mengambil untuk diri-Nya terhadap situasi manusia yang terpecah belah. Yesus datang ke dunia untuk umat manusia yang tidak memiliki tempat atau dasar untuk berdiri, yang terputus dari Allah dan sesama. Dalam hidup-Nya, Yesus tidak hanya menyamakan identitas diri-Nya saja, akan tetapi Ia mewakili manusia untuk datang kepada Bapa, Ia menjadi orang yang memberikan jawaban yang terakhir atas nama umat manusia (bdk. Ibr 8-10), sehingga perjanjian manusia dengan Allah menjadi nyata dalam diri Yesus Kristus. Dalam perjalanan dan kehidupan-Nya di dunia ini, hidup Yesus dipenuhi dengan 2 prinsip, diantaranya: Pertama, Ia sepenuhnya mengabdi kepada kehendak Bapa “Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya” (Yoh 4:34). Yesus mengambil hidup dari Bapa, dan Bapa adalah “wadas” di atas nama Yesus, dan kepada Bapa juga Yesus mengabdikan kepenuhan dan seluruh hidup-Nya. Kedua, Yesus mengabdi sepenuhnya kepada misi-Nya “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh 15:13). Dalam hidup-Nya, Yesus “senantiasa mengasi mereka yang adalah kepunyaan-Nya” (John Fuellenbach. 2006; 306-307).
Menurut Otto hentz (2005), salib Kristus menandai batapa sempurnanya Allah masuk dalam penderitaan manusia. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa salib adalah tenda cinta Allah yang mengosongkan diri. Salib juga adalah tanda yang menjaga harapan manusia terhadap kepenuhan hidup melalui cinta pemberian dalam kehidupan dan kematian. Salib juga tanda bahwa Allah bermaksud menjadikan manusia kehidupan dan kematian Yesus (bdk. Rm 6:8, 10-11).
Jadi, jika kita hidup di dalam Kristus, maka kematian adalah suatu keuntungan. Karena jika kita hidup menurut segala perintah-Nya, maka kita akan hidup untuk Kristus. Bagi umat beriman, kita tidak hidup untuk diri kita sendiri, dan juga tidak mati untuk diri kita sendiri. Sebab jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan, dan jika kita mati, kita mati untuk Tuhan (Rm 14:8). Maka dengan selalu tinggal di dalam Dia, tidak menjadi soal apakah kita hidup atau mati. Rasul Paulus mengatakan, “Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan,” (Fil 1:21) karena melalui kematian kita pergi untuk bertemu dengan Kristus dan diam bersama-sama dengan Dia (bdk. Fil 1:23). Pada saat itulah, kita akan melihat Dia dalam keadaan-Nya yang sebenarnya (1 Yoh 3:2). Maka dalam arti kehidupan kekal ini, maka dapat dikatakan, “hari kematian lebih baik dari hari kelahiran” (Pkh 7:1).  Artinya bahwa setiap orang Kristiani yang memiliki kepercayaan dan mampu setia akan tugas dan pelayanannya kepada kehendak Allah maka ia akan dibangkitkan, serta mecapau kepenuhan  hidupnya (hidup bersama dengan Allah).
2.      Kebangkitan
Pengharapan akan Kerajaan Allah memiliki dasar dalam kebangkitan Kristus, yang mengukuhkan realitas Kerajaan Allah dalam kepenuhan. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, apa itu kebangkitan? bagaimana mengatahui kebangkitan dari iman? dan apa yang diungkapankan oleh kebangkitan tentang pengharapan kepada kita?
Menurut Otto hentz (2005) definisi kebangkitan adalah suatu peristiwa penerimaan Yesus oleh Allah secara penuh kedalam dimensi kehidupan kekal Allah dan daya yang memberi kehidupan. Dalam kebangkitan, Allah secara definitif menerima seluruh pribadi Yesus meskipun kekalahan dan kehancuran-Nya yang nyata dalam kematian.
Menurut C. Groenen (1973) makna kebangkitan Yesus Kristus dari kematian adalah kebangkitan sebagai tindakan penyelamatan Allah. Oleh Allah, Yesus dibangkitkan dari alam maut (bdk. 1Kor 15:4). Dengan menakankan bahwa Yesus dibangkitkan dari Allah maut oleh Allah, maka Perjanjian Baru menandaskan bahwa kebangkitan itu bukanlah sesuatu yang berdasarkan sesuatu yang konkrit dan alamiah, misalnya “jiwa yang tidak dapat mati” seperti yang dikatakan oleh antropologi Yunani. Di dalam manusia sendiri, bahkan dalam diri Yesus dari Nazaret sendiri tidak diketemukan sebuah prinsip kebangkitan sebagi sebuah prinsip yang wajar dalam alamiah serta konaturil. Yesus yang disalibkan sungguh mati seluruhnya dan dari dalam tidak ada harapan sedikitpun bahwa Ia akan dapat mengatasi keadaan manusia mati. “Immortalitas animea” dari antropologi Yunani tidak bersangkutan sedirikpun dengan paham kebangkitan seperti yang diajarkan oleh Perjanjuan Baru tentang Yesus dari Nazaret. Hanya Allah seja yang benar-benar dapat mengatasi keadaan orang mati, termaksuk diri Yesus dari Nazaret. Yang menjadi prinsip kebangkitan Yesus adalah daya kerja, kuasa dan kemuliaan Allah (bdk. Rm 6:4).
Menurut Luis M. Bermejo (2009; 29) dalam kebangkitan Yesus, kita tidak hanya menghadapi pembangkitan mayat, tetapi kebangkitan yang sesuangguh-sungguhnya, kebangkitan ke bentuk hidup yang baru, yang mengubah sapai kedasarnya dan definisinya. Bapa menanugerahkan kepada Yesus suatu hidup yang baru sebagaimana diungkapkan oleh Rasul Paulus kepada jemaat di Korintus “Karena sekalipun Ia telah disalibkan oleh karena kelemahan, namun Ia hidup karena kuasa Allah” (2Kor 13:4), kuasa Allah seperti apa, sudah tentu kuasa Allah yang menghidupkan karena kuasa Allah tersebut menjadi sumber akhir dari hidup Yesus yang sudah dibangkitkan. Dengan demikian, Yesus diterima ditempat di sisi Bapa berada.
Dengan demikian, bagaiman orang Kristiani harus menyikapi peristiwa kematian badannya dengan berdasarkan imannya kepada Yesus Kristus sebagai Putra Allah yang menyelamatkan. Dengan pengharapan yang penuh, dan dengan sukacita yang berlimpah hendaklah orang Kristiani berani memandang atau melihat peristiwa kematian sebagai sebuah tangapan akan panggilan Allah yang menyempurnakan hidupnya.  
3.      Hidup Dalam Harapan yang Penuh Sukacita.
Keutamaan harapan yang indah, akan tetapi sayangnya sering kali diabaikan. Di masa lampau, Allah telah membuat janji-janji penyelamatan, dan janji-janji itu ditangapi oleh manusia dengan iman. Janji-janji itu sekarang sudah terpenuhi sebagian, dan pemenuhi janji baru yang segar yang mendorong manusia ke masa depan. Manusia memandang masa lampau di mana ia menemukan Allah yang setia yang telah menjanjikan keselamatan. Manusia percaya berdasarkan iman pada campur tangan Allah di masa kini dan dibawa maju melalui harapan ke masa depan. Artinya, tujuan janji masa lampau didasari manusia dengan iman, dan kesadaran akan masa lampau melahirkan herapan-harapan ke masa depan.
Orang Kristiani hendaknya hidupnya selalu penuh dengan harapan. Menurut Rasul Paulus, orang Kristiani hanya mengharapkan satu hal saja, yakni mengambil bagian dalam kemuliaan Allah. Bagi orang Kristiani, herapan adalah lentera cahaya yang agak kabur dan tidak pasti, yang menerangi jalan manusia ke masa depan. Mengapa kabur dan tak pasti, Paulus mengatakan dalam suratnya kepada jemaat di Roma “karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah” (Rm 3:23), mereka tidak memiliki bagian dalam cahaya sendiri, akan tetapi pada saat mereka memiliki harapan mereka akan bermegah dengan pengharapan akan menerima kemuliaan Allah (bdk. Rm 5:2). Manusia mengharapkannya “sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita” (Rm 8:18). Kita semua menuju kepada kecemerlangan di masa depan.
Dalam kenyataannya, manusia pendosa berada dalam kegelapan, tetapi ada harapan akan terang yang, dengan memberi isyarat untuk menuju ke depan, untuk menerangi jalannya. Kemuliaan Allah yang lebih dahulu bersinar, itulah yang menjadi sasaran harapan manusia yang penuh dengan kepercayaan, dengan demikian cahaya Allah akan menjadi cahaya manusia, dan kemualiaan Allah akan menjadi kemuliaan manusia. Berkas sinar dari kecermelangan inilah yang memberikan isyarat kepada manusia untuk terus maju (Luis M. Bermejo. 2009; 303-306).
Ke pada siapakan manusia menghaturkan harapannya?. Luis M Bermejo (2009) mengatakan bahwa Tritunggallah sebagai dasar harapan orang Kristiani. Kemuliaan Ilahilah yang menjadi tujuan harapan oeng Kristiani pada masa di dunia ini. Pada dasarnya, manusia tidak maju untuk mengambil bagian pada kemuliaan Allah yang kabur, melainkan menuju ke sesuatu yang lebih konkrit , yakni ikut ambil bagian dalam kemuliaan Yesus yang bangkit. Secara mendasar, cahaya Allah yang hadiri dalam Kristus Paskah itulah yang diharapkan oleh manusia, dan bila pada akhirnya ia mencapainya, tujuan yang amat diinginkannya akan menjadi kenyataan.
Harus kita akui bahwa, sekarang hidup manusia seperti pendakian yang berharap-harap ke gunning Tabor. Di puncak gunung itu, pada akhir perjalanan, manusia bertemu dengan Kristus yang telah berubah, yang menjadi tujuan harapan manusia pada masa sekarang dan tujuan pemenuhan manusia kemudia. Pada masa sekarang manusia masih menunggu “Juru selamat yang akan mengubah tubuh kita yang hina ini, sehingga serupa dengan tubuh-Nya yang mulia, menurut kuasa-Nya yang dapat menaklukkan segala sesuatu kepada diri-Nya” (Fip 3:21).
Seperti Stefanus pada waktu ia akan meninggal, manusia akan bejumpa dengan Kristus yang sudah dimuliakan, dan pada waktu itu manusia akan dibersikan dan akan diadili seturu perilaku manusia semasa di dunia, dan akan dibangkitkan ke dalam hidup bersama Kristus, karena manusia sudah ikut ambil bagian dalam kehidupan-Nya, dan padan akhirnya akan diterima ke dalam kerajaan terang dan perdamaian-Nya. Inilah menurut Luis M Bermejo (2009) keidahan dan arti penuh kematian bagi orang Kristiani pada waktu harapannya terwujud dan pada akhirnya kehausannya akan Kristus dipuaskan. Berharap untuk masa depan adalah berharap untuk kemuliaan Kristus yang telah berubah. Tujuan harapan manusia amatlah sederhana, yaitu Yesus yang telah bangkit, yang akan menariknya ke dalam perubahan-Nya sendiri.
Motif bagi harapan manusia adalah Roh Kudus. Roh Kudus adalah anugerah tertinggi Kristus yang bangkit bagi Gereja yang baru lahir. Pada waktu Yesus hendak menuju atau naik kepada Bapa, Ia menjanjikan Roh Kudus kepada para murid-murid-Nya ”Ia melarang mereka meninggalkan Yerusalem, dan menyuruh mereka tinggal di situ menantikan janji Bapa……akan dibaptis dengan Roh Kudus” (Kis 1:4-5). Hal tersebut terjadi pada hari Pentakosta, dimana Roh Kudus dicurahkan kepada para murid. Bapa telah berjanji bahwa Ia akan mencurahkan Roh Kudus kepada manusia, dan janji itu segera terpenuhi, baik pada hari Pentakosta maupun pada penerimaan Sakramen Baptis. Rasul Paulus mengatakan dalam suratnya kepada Jemaat di Efesus “dan Roh Kudus itu adalah jaminan bagian kita sampai kita memperoleh seluruhnya, yaitu penebusan yang menjadikan kita milik Allah, untuk memuji kemuliaan-Nya” (Ef 1:14), atau “Roh Kudus adalah janji” (Kis 2:33). Roh Kudus adalah pemenuhan janji Bapa.
Roh Kudus diberikan kepada manusia yang percaya (orang Kristiani) hanya sebagai Arabhon “uang muka”, dan belum seluruh pembayarannya. Roh Kudus adalah janji akan kenyataan penuh yang akan mendatang, dan Roh Kuduslah yang menguduskan orang Kristiani yang percaya, artinya selama manusia itu masih hidup, pengudusan tersebut belum lengkap. Pengudusan itu bertumbuh dan berkembang, pengudusan itu belum sempurna, dan juga Roh Kuduslah yang dengan diam di dalam tubuh manusia menjadikannya putra dan putrid Bapa, akan tetapi keputraan tersebut belum lengkap, akan menjadi lengkap pada hari kebangkitan. Pengudusan, keputraan, dan kemerdekaan merupakan tiga kenyataan yang amat menakjubkan yang dianugerahkan kepada orang Kristiani melalui Pribadi Roh Kudus. Ketiga anugerah tersebut pada dasarnya menuntut pemenuhan, karena oleh dinamisme internalnya, anugerah tersebut bergerak maju menuju pemenuhannya di masa depan. Roh Kudus yang aktif dalam kehidupan orang Kristiani mendorongnya untuk maju dan mengatasi dinamika kenyataan yang pada saat ini, dan semuannya akan berkembang yakni ketiga Gereja yang berziarah mencapai pada akhir perjalanannya.
Namun, dasar harapan manusia yang terakhir adalah pribadi Bapa. Dalam suratnya kepada jemaat di Roma, Paulus mengatakan manusia sudah berada dalam kasih karunia Bapa, yakni manusia berdiri pada kemurahan dan kebangkitan Bapa yang penuh kasih yang mengelilingi manusia seperti suasana yang melingkupi manusia. Manusia berjemur dalam sinar matahari kebaikan, dihangatkan dan belai oleh sinar cahaya dan sinar kehadiran-Nya yang lembut dan menghibur, akan tetapi sinar ini belum merupakan kepenuhan kemuliaan-Nya yang gemilang, maka dari pada itu manusia bermegah dalam pengharapan akan menerima kemuliaan Allah. Manusia memandang ke depan dengan penuh keyakinan dan kepercayaan bahwa pada suatu saat akan dimasukkan ke dalam cahaya Bapa (Rm 5:2-5).
Sebagai bukti dan jaminan yang hampir dapat dirasakan bahwa, harapan tersebut bukanlah sesuatu yang kosong, Bapa telah memberikan kepada manusia yakni Roh Kudus dan sekarang diam di antara kita, dan dengan demikian manusia menikmati sinar lembut dari kemurahan Bapa, tetapi manusia belum puas dengan anugerah keduanya itu, manusia bergerak menuju dari ketidakpenuhan menjadi kepenuhan, dari pemilik yang belum semperna menuju kepada warisan sepenuhnya, dan Roh Kuduslah yang mendorong manusia untuk bergerak terus (Luis M Bermejo. 2009).
Intinya adalah bahwa Allah tidak membiarkan manusia hidup dalam kegelapan. Allah selalu mengasihi manusia. Ia ingin supaya manusia mendapat tempat bersama-Nya di dalam kerajan-Nya. Roh Kudus adalah anugerah Allah yang tinggi, yang dianugerahkan kepada manusia, dengan Roh Kudus yang diam di dalam manusia itulah Allah menarik manusia untuk kembali kepada-Nya. Pengharapan adalah cara manusia untuk mempu melihat kemuliaan Allah yang dijanjikannya kepada manusia. Roh Kudus juga yang mempu membuat manusia berharap akan kasih karunia Allah yang menyelamatkan. Sebenarnya apa inti dari pengharapan orang Kristiani?.
4.      Kita akan Dibangkitkan.
Paulus adalah nama yang dipakainya setelah ia mengimani Kristus, sebelumnya ia dipanggil Saulus. Bukan Kristus yang wafat, tetapi Kristus yang bangkit yang dilihat oleh Paulus dalam perjalanannya ke Damsyik. Pengalaman ini adalah pengalaman yang menuntun orang yang sebelumnya “tampa batas menganiaya jemaat Allah” (bdk. Gal 1:13), sehingga menjadi orang yang penuh semangat mengikatkan diri pada Kristus, tetapi juga terobsesi oleh kebangkitan-Nya, dan kebangkitan Kristus yang ia lihat, itulah yang Paulus wartakan kepada semua orang, baik yang percaya maupun yang tidak percaya. Meskupun demikian, ada banyak orang yang berbeda dalam menangapi kebangkitan Kristus yang ia wartakan (bdk. Kis 17: 18; 32; Kis 23: 10). Walaupun demikian, pewartaan Paulus tentang kebangkitan Yesus mendapat tangapan di Kota Korintus. Kebahagiaan manusia adalah lepas dari tubuh, karena tubuh adalah penjara jiwa, karena itu, kehidupan manusia setelah kematiaan akan membawa tubuh kembali kepada penjara, dan kebahagiaan tertinggi manusia adalah lepas dari tubuh dan tidak dipenjara lagi oleh tubuh.
Di lihat dari latar belakang pemikiran kafir ini, kepercayaan orang Kristiani akan kebangkitan tampak menjadi sebuah omong kosong yang bodoh. Di mata orang Yahudi, cita-cita orang Kristiani akan kebangkitan ini merupakan kemunduruan dan bukan kemajuan, serta tidak masuk akal. Memikiran inilah yang merasuki komunitas Kristiani dan menggoncangkan iman murid-murid Paulus akan kebangkitan Kristus dan kebangkitan mereka sendiri.
Jika ini terjadi pada masa sekarang, dan ditanyakan kepada seorang katekis, apa yang harus dilakukan, atau apa yang seharusnya menjadi jawaban seorang katekis? Atas pergumulan dan pertanyaan yang semacam ini, Luis M Bermejo (2009) dalam bukunya yang berjudul “Makam Kosong” memberikan dua hal, pertama Iman lebih kuat dari pengalaman, dan kedua, akar dari kebangkitan.
a.      Iman Lebih Kuat dari Pengalaman.
Menurutnya, iman dan pengalam pribadi manusia kadang-kadang berbicara dalam bahasa yang sama dan menyampaikan pesan yang sama, akan tetapi hal tersebut tidaklah sama terus, karena semakin seseorang berbicara tentang “kematian” maka akan terjadi perbedaan, bahkan berlawanan. Artinya, hal tersebut akan membuat manusia menarik sebuah kesimpulan yang berlawanan pula.
Misalkan, pengalaman pada waktu memakamkan atau menguburkan seseorang, dengan sendirinya pengalaman manusia mengatakan bahwa manusia tidak memiliki harapan, karena manusia mati menuju kepada makam kosong, dan itu semua adalah akhir dari perjalanan hidup ini. Ini juga berarti bahwa manusia berakhir dengan kekosongan, kegelapan dan kehancuran. Semuannya ini adalah yang disampaikan oleh pengalaman manusia.
Berlawanan dengan iman. Dengan Iman manusia mampu melihat, bahwa kematian adalah sebuah kepenuhan dari panggilan hidup manusia, bukan kekosongan. Dalam kubur, bukan kegelapan yang dilihat, akan tetapi terang yang cemerlang, dan bukan kematian yang melumpuhkan akan tetapi hidup yang tumbuh. Dalam hal ini, artinya kematian bukan akhir akan tetapi awal dari kehidupan. Manusia mengatasi kematian karena Allah telah memaksudkan manusia untuk hidup, bukan untuk mati. Dalam hal ini, kubur adalah perpindahan untuk hidup abadi. Bagi orang Kristiani, jelas pesan imannyalah yang harus diunggulkan atau unggul atas bisikan pengalaman pribadi yang menipu. Karena pesen yang disampaikan oleh iman ini merupakan harapan yang teguh dan tak tergoyahkan akan kebangkitan.
Menurut Paulus, dagin dan darah tidak mendapat bagian dalam Kerajaan Allah (bdk. 1Kor 15:50). “Kebangkitan badan” sama sekali tidak mungkin terjadi karena kata-kata itu tidak pernah muncul bahkan sekalipun dalam PB. Dalam hal ini, Perjanjian Baru lebih menyukai “kebangkitan orang mati”, karena manusia seluruhnya yang sudah menjalani kematian, terus hidup. Harus dikatakan bahwa ketika berbicara tentang kebangkitan orang mati, sesungguhnya kita menugunakan metafora yang diambil dari pengalaman kesehariaan kita, yakni tidur dan bangun. Kita harus sadar bahwa bahasa kita simbolis, dan bukan simbol itu sendiri “kebangkitan” , tetapi kenyataan yang disampaikan oleh lambang itu sendirilah yang harus ditekankan. Kenyataan itu adalah terus hidupnya seseorang setelah kematian.
Jadi, pesan yang disampaikan oleh iman adalah bahwa manusia akan hidup, dan bahwa seluruh manusia maupun seluruh pribadi, dimaksudkan untuk hidup terus, artinya hidup abadi. Namun, ungkapan tak jelas seperti “keselamatan jiwa” harus sepenuhnya dibuang dari perbendaharaan kata Kristiani, karena cara berbicara itu lebih dipengaruhi oleh filsafat kafir Yunani dari pada iman Kristiani. Dalam hal ini, kebangkitan janganlah dicampur adukan dengan kebangkitan mayat, artinya hal yang bisa dipikirkan oleh orang banyak, karena pada kenyataannya mayat harus dimasukkan ke dalam peti, dan dikuburkan, dan hal ini sama sekali tidak memiliki hubungannya dengan ajaran tentang kebangkitan. Harus kita pegang teguh, bahwa kehidupan kembali orang yang telah meninggal tidak mencakup mayat manusia yang dilepas atau ditinggalkan pada saat kematian.
b.      Akar Kebangkitan
Yesus dalam kehidupan-Nya di dunia ini tidak mengajarkan tentang sesuatu yang baru berkaitan dengan kebangkitan. Tentang kebangkitan sesudah kematian, hal tersebut sudah diketahui oleh orang Israel, bahkan ajaran ini telah tersebar luas di dalam kalangan mereka. Tetapi Yesus mulai bergerak secara mendasar dan puncaknya pada Paulus. Dalam pewartaan-Nya, Yesus mengatakan “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati” (Yoh 11:25). Perkataan ini adalah pesan yang diberikan oleh Yesus kepada Marta beberapa hari setelah saudaranya Lazarus meninggal. Hendaklah orang Kristiani memandang Lazarus hidup kembali, bukan kebangkitan Lazarus, karena di mata pengarang yang melaporkannya merupakan lambang kebangkitan akhir orang Kritiani. Lazarus keluar dari kuburnya karena menantikan Yesus, dan hidupnya yang baru adalah kelanjutan dari hidupnya yang sebelumnya. Hidupnya Lazarus itu hanya pembangkitan mayat kedalam hidup yang sebelumnya yang sama. Artinya, Lazarus memang mati, akan tetapi kematiannya hanya sementara, karena ia diangkat kembali kehidup sehari-hari yang sama. Dan harus kita akui, inilah kekayaan dan kemiskinan lambang, ketika menceritakan peristiwa pembangkitan Lazarus, meminta pengarang bukan terpusat pada peristiwanya sendiri sebagai peristiwa dalam hidup Lazarus, akan tetapi pada nilainya sebagai lambang untuk kebangkitan orang Kristen di masa mendatang. Yesus juga mengatakan “semua orang yang di dalam kuburan akan mendengar suara-Nya” (Yoh 5:28). Itulah tepatnya yang terjadi pada Lazarus dan akan terjadi pada kita semua.
Menurut padangan Yohanes, iman adalah penyerahan diri sepenuhnya ke dalam tangan Yesus yang bangkit, dan iman inilah, jika dipenuhi cinta dan harapan, yang pada akhirnya akan menghasilkan mukjizat seluruhnya akan kebangkitan. Artinya, jika orang Kristiani percaya akan kebangkitan Yesus Kristus, maka ia akan dibangkitkan-Nya untuk selama-lamanya, maka dari pada itu dapat dikatakan bahwa “kita percaya supaya kita hidup”. Maka, dalam hal ini imanlah yang membawa pada dirinya benih vitas untuk kebangkitan.
Yesus juga menjadikan daging dan darah ekaristi-Nya sebagai prinsip hidup lain dan bahkan lebih kuat. Yesus mengatakan “Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman (Yoh 6:54), artinya Ekaristi tidak menyampaikan kepada kita hidup Yesus sendiri sekarang ini, tetapi Ekaristi juga memberikan jaminan bagi kita untuk memiliki sepenihnya hidup ilahi sesudah kematian. Dalam Ekaristi, Yesus menyerahkan tubun dan darah-Nya untuk kita, tujuannya supaya kita hidup. Ekaristi juga mencurahkan kepada orang beriman Kristiani bahwa hidup tidak hanya berkaitan dengan Yesus, tetapi juga Tritunggal, karena dalam Ekaristi tubuh Yesus yang sudah dimuliakan menjadi penerima hidup dari Bapa sebelum menjadi penyalur hidup yang sama kepada manusia “sama seperti Bapa yang hidup mengutus Aku dan Aku hidup oleh Bapa, demikian juga barangsiapa yang memakan Aku, akan hidup oleh Aku” (Yoh 6:57). Inilah aliran hidup ilahi Tritunggal yang lubur dari Bapa, memenuhi Kristus Ekaristi yang sudah bangkit, dan melalui diri-Nya mengalirlah kedalam orang yang menerima komuni. Artinya hidup inilah sekaligus Ekaristi dan Tritunggal, yang pada akhirnya akan mendatangkan mukjizat kebangkitan.
Jadi, akar terdalam kebangkitan manusia adalah Sakramen Baptis, yang untuk pertama kali menciptakan hubungan yang vital antara Yesus yang sudah bangkit dengan orang Kristiani, dan Ekaristilah yang membuat hidup sesudah pembaptisan bertumbuh dan berkembang, dan Ekaristi menjadi jaminan kemuliaan akhir yang terus menerus diperbaharui. Iman kepada Yesus dan Ekaristi, percaya kepada Yesus dan makan daging-Nya, itulah kedua pilar yang menjadi dasar iman Kristiani akan kebangkitan yang tidak dapat tergoyahkan, Karen dalam ini semua ada misteri kehidupan, yakni hidup yang mengalir dari Allah kepada manusia melalui dua saluran yakni iman dan Ekaristi. Hal ini menjadi seperti mata air hidup yang mempu membawa manusia kepada kehidupan bersama dengan Tritunggal, dalam hidup kekal.    
D.    BAGI ORANG KRISTIANI, KEBANGKITAN KRISTUS MEMBERI HIDUP DAN KESELAMATAN
Bgai orang Kristiani yang percaya akan kebangkitan Kristus, akan memberikan kehidupan dan keselamatan kekal kepadanya. Pengarang Injil Yohanes mengatakan “dan Aku memberikan hidup yang kekal kepada mereka dan mereka pasti tidak akan binasa sampai selama-lamanya dan seorang pun tidak akan merebut mereka dari tangan-Ku” (Yoh 10:28). Artinya karya penyelamatan Yesus Kristus pada prinsipnya berorentasi pada masalah hidup yang kekal. Adapun maksud dari pengertian hidup yang kekal pada prinsipnya dipahami oleh gereja Tuhan sebagai suatu keselamatan yang telah dianugerahkan Allah melalui iman kepada Kristus, sehingga umat yang percaya diberi janji dan jaminan untuk memperoleh hidup yang kekal, yaitu pengampunan dan keselamatan Allah yang penuh. Makna pengampunan dan keselamatan yang penuh dari Allah tersebut merupakan keselamatan yang dapat dialami oleh umat percaya pada masa sekarang maupun terjadi kelak setelah kita meninggalkan dunia ini.
Haruslah kita yakini bahwa hidup yang kekal yang dianugerahkan Allah di dalam Tuhan Yesus selain dinyatakan dalam kehidupan kita sehari-hari di masa kini, juga dinyatakan dalam kehidupan setelah kita meninggal. Dalam Kitab Wahyu 7:14 pengarang mengatakan “…mereka ini adalah orang-orang yang keluar dari kesusahan yang besar; dan mereka telah mencuci jubah mereka dan membuatnya putih di dalam darah Anak Domba. Dalam kesaksian Kitab Wahyu ini, kita diajak untuk melihat bahwa orang yang percaya kepada Yesus Kristus mendapatkan kehidupan yang kekal bersama Allah di dalam kerajaan-Nya, meskipun di dunia ini dalam kenyataanya kita mengalami kematian atau kesusahan yang mendalam dan sangat mengerikan. Kepercayaan yang secara penuh dan penyerahan yang total kepada Kuasa Allah yang menyelamatakan dalam diri Putra-Nya Yesus Kristus akan menjadikan manusia hidup kakal bersama Allah dalam kerajaan-Nya. Meskipun kematian yang dialami oleh orang Kristiani yang percaya, seperti cara kematian yang tidak wajar seperti mati karena dianiaya dan dibunuh, tidak berarti menyebabkan mereka menjadi arwah/hantu yang penasaran. Tetapi yang ditekankan dalam iman Kristen adalah apakah cara hidup seseorang tersebut sungguh-sungguh dilandasi oleh sikap iman, khususnya kesetiaan dan kasih kepada Tuhan Yesus.
Luis M. Bermejo (2009) dalam bukunya “Makam Kosong” mengatakan bahwa Kristus yang telah mengalami sensara, mati dan bangkit serta naik ke sorga merupakan Kristus yang ditetapkan oleh Allah menjadi Tuhan atas seluruh umat manusia. Karya keselamatan Kristus bukan hanya ditujukan kepada umat Israel dan umat Kristen saja. Tetapi karya keselamatan Kristus pada hakikatnya ditujukan kepada seluruh umat manusia.
Dalam Wahyu 7:9, pengaran mengatakan dari hasil penglihatannya “kemudian dari pada itu aku melihat: sesungguhnya, suatu kumpulan besar orang banyak yang tidak dapat terhitung banyaknya, dari segala bangsa dan suku dan kaum dan bahasa, berdiri di hadapan takhta dan di hadapan Anak Domba, memakai jubah putih dan memegang daun-daun palem di tangan mereka” ayat tersebut mau mengatakan bahwa Kristus yang telah bangkit dan naik ke surge menjadi hakim atas seluruh umat manusia, keselamatan dan kehidupan kekal dianugerahkan Allah kepada Yesus Kristus, dan kemualian Yesus Kristus sama dengan kemualian Allah.
Dengan demikian, dapatlah kita mengambil sebuah kesimpulan bahwa benarlah upacan Yesus Kristus yang dikatan oleh pengrang Injil Yohanes “Aku memberikan hidup yang kekal kepada mereka dan mereka pasti tidak akan binasa sampai selama-lamanya dan seorang pun tidak akan merebut mereka dari tangan-Ku” (Yoh 10:28) arti dari ayat ini adalah orang yang percaya kepada Yesus Kristus akan diberikan kepadanya hidup yang kekal, dengan demikian mereka tidak binasa untuk selama-lamanya.
Dengan demikian, apa yang harus orang Kristiani lakukan? Dalam bukunya, I. Suharyo (1993) yang berjudul “Kitab Wahyu Paham dan Maknanya Bagi Hidup Kristen” terhadap Wahyu 22:6-21 mengajak orang beriman Kristiani untuk selalu berjuang dalam pengharapan. Dalam hal ini, kita diajak untuk mempu melihat terang di tengah-tengah kegelapan, membangun harapan di tengah-tengah ketidakpastian, dan melalui hal inilah Gereja menjadi matang melalui usaha pencarian dan penegasan itu. Dengan demikian, dapatlah kita katakana bahwa harapan itulah lentera bagi manusia dalam berjalan di tengah kegelapan dalam hidupnya di dunia ini demi menuju kepada kehidupan bersama Allah di Surga.

  
E.     KESIMPULAN
Dari paparan dan penjelasan di atas, masihkah kita sebagai orang Kristiani menanyakan akankah kita dibangkitkan pada saat mati, atau adakah kehidupan kekal itu? jika ini terjadi dalam iman Kristiani, maka orang tersebut tidak layak menyandang gelar orang Kristiani, dan ia meragukan dogma tentang kebangkitan.
Hal yang harus kita ketahui bahwa, hidup manusia tidak bisa menghindar dari kematian. Bagi orang Kristiani, kematian bukanlah akhir dari hidup ini, akan tetapi kematian adalah sebuah kepenuhan, kesempurnaan, hidup bersama Allah di dalam kerajaan-Nya. Hidup manusia memiliki awal dan miliki akhir, demikian juga akan hal yang kita perbuat bersifat sementara dan fana, tetapi hal tersebut bukan tampa arti. Dalam hidup di dunia ini, hidup rahmat yang abadi sudah dimulai, artinya hendaklah kita harus mengunakan waktu kita dengan sesuatu yang bermakna, karena dalam keadaan itulah kita membentuk sikap yang terarah kepada Tritunggal Maha Kudus. Hidup di dunia ini adalah sebuah ujian bagi kita untuk membangun sikap percaya kepada Kekuasaan Allah yang tidak kita ketahui atau kita lihat. Jadi, janganlah ada ketakutan atau kekuatiran dalam diri kita, jika kita percaya kepada Allah maka pada akhirnya kita akan dibangkitkan pada akhir zaman.
Di dunia inilah kita membangun relasi dan komunikasi yang intim dengan Allah. Kebagkitan Yesus Kristus dan Ekaristi adalah jaminan bagi kita untuk hidup bersama dengan Allah dalam kehidupan yang kekal. Harapan itulah yang menjadi lentera kita untuk mempu sampai kepada kesempurnaan yang sesungguhnya bersama dengan Allah. Jika Allah mengasihi dan mambangkitkan Putra-Nya Yesus Kristus, maka Allah juga akan mengasihi dan membangkitkan kita, karena dalam kehidupan-Nya di dunia, Yesus telah menganggap kita adalah sahabat-Nya “Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku” (Yoh 15:15). Dalam hal ini, apa yang harus kita lakukan, perkuatkanlah iman kita, dan percaya bahwa Kuasa Allah besar atas diri kita, dengan kuasa-Nya yang besar juga maka kita akan mampu mencapai kepenuhan hidup yang sempurna bersama dengan Bapa di dalam Kerajaan-Nya di Surga. Jika di dunia ini, kita mendapatkan ketidakadilan, haruslah kita percaya bahwa Allah itu Adil (bdk. Why 16:5; 15:3; 16:7; 19:2). Dengan keadilan-Nyalah, Allam menegakkan kembali keseimbangan yang goyah karena pergumulan antara perbuatan baik dan jahat. Bagi orang Kristiani yang percaya, Allah yang Adil adalah Allah kita (bdk. Why 12:10; 19:1.6; 21:3) yang menghidupkan dan menyelamatkan. Allah yang hidup mengatasi tingkat manusiawi kita dan setiap keterbatasan waktu (bdk. Why 4:9.10; 7:2; 10:6; 15:7).    



DAFTAR PUSTAKA


Herntz, Otto. 2005. Pengharapan Kristen. Yogyakarta: Kanisius.

Schouppe, F.X. 2007. Apa Benar Api Pencucian Ada?. Yogyakarta: TaboraMedia.

KWI. 1996. Iman Katolik. Yogyakarta: Kanisius.

Hardawiryana, R. 1993. Dokumen Kosili Vatikan II. Jakarta: OBOR

Bermenjo, M. Luis. 2009. Makam Kosong “Misteri dan Makna Kebangkitan Yesus”. Yogyakarta: Kanisius.

Groenen, C. 1973. Kebangkitan. Ende-Flores: Nusa Indah-Arnoldus

Fuellenbach, John. 2006. Kerajaan Allah “Pesan Inti Ajaran Yesus Bagi Dunia Modern”. Ende-Flores: Nusa Indah-Arnoldus.

Suharyo, I. 1993. Kitab Wahyu Paham dan Maknanya Bagi Hidup Kristen. Yogyakarta: Kanisius.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar