"MAKNA KEMATIAN BAGI ORANG KRISTIANI YANG PERCAYA"
Oleh: Silvester
Nyawai
“Aku memberikan hidup yang kekal kepada mereka dan mereka
pasti tidak akan binasa sampai selama-lamanya dan seorang pun tidak akan
merebut mereka dari tangan-Ku”
(Yoh 10:28)
A.
PENDAHULUAN
Harus kita akui bahwa, cepat atau lambat hidup kita akan
berakhir dengan kematian. Sang pemazmur mengatakan “sekarangpun hidup kita bahaya maut sepanjang hari” (Mzm 44:32), dan
dikatakan lagi oleh Sang pemazmur “menjadi
incaran sejak kecil” (Mzm 88:16). Maut bukanlah sebuah perkara yang
direncanakan, akan tetapi maut itu sendiri tidak kita ketahui, kepadan datang
kepada kita. Maut itu sendiri merupakan keterbatasan hidup manusia. Hidup ini
dalam kenyataannya memiliki awal dan akhir, dengan demikian segala sesuatu yang
kita lakukan, kita miliki, bahkan kita agung-agungkan hanyalah bersifat
semantara saja, terbatas dan fana, dan semuannya itu tampa arti sekalipun.
Rasul Paulus mengatakan dalam surat kepada jemaat di Efesus “kita harus mempergunakan waktu yang ada”
(Ef 5:16), mengapa? karena dalam waktu yang singkat dan penuh makna ini, kita membentuk sebuah sikap dengan Tuhan, karena di
dunia yang fana inilah kita membuktikan bahwa kita percaya kepada ke
Mahakuasaan Allah tampa harus bertemu langsung dengan-Nya (bdk. Rm 8:24-25)
(Iman Katolik; 1996; 462-463). Dengan demikian, tidak jarang juga orang
bertanya-tanya, mengapa harus ada kematian, setelah mati apakah aku akan
dibangkitkan dan hidup kekal.
Pada tanggal 9 Mei 2012 ini, khusunya dalam sebuah
kecelakaan pewasat sukhoi yang menelan banyak korban. Kesedihan dan dukacita
yang mendalam terjadi
pada pihak keluarga korban, masyarakat dan Negara. Dalam situasi
yang semacam ini, kasih karunia Tuhan menjadi tempat yang begitu besar bagi tujuan
dan harapan dalam kalangan keluarga korban. Dalam situasi ini juga, masih ada
pihak keluarga korban yang berharap atau memiliki harapan, terutama ada yang
selamat dari maut tersebut. Selain mencari,
doa-doa dan harapan-harapan dari jemaat yang beriman, terutama dari pihak
keluarga terus menerus dipanjatkan kepada Tuhan, dengan harapan ada dari antara mereka yang
masih diberikan kesempatan hidup. Doa dan harapan tersebut dimaksudkan memohon kepada Tuhan untuk memberikan mukjizat kehidupan
kepada mereka yang menjadi korban jatuhnya pesawat terbang tersebut.
Hal semacam ini dapat kita katakana bahwa manusia, terutama pihak keluarga korban memiliki harapan akan kasih
karunia Allah yang membawa manusia kepada kehidupan. Meskipun dalam hal ini,
kematian adalah peristiwa yang secara jasmani memang membawa penderitaan,
dukacita dan kesedihan yang amat mendalam, terutama bagi orang yang
ditinggalkan.
Pertanyaannya
adalah mengapa dalam situasi seperti ini, orang harus berdoa?
apa yang menjadi pengharapan mereka?, dan mengapa harus ada kematian, pada hal
katanya kita ini adalah anak Tuhan? Berdasarkan kasus di atas, ada beberapa kemungkinan, dinataranya;
1. Pihak keluarga masih berharap, supaya keluarganya yang
mengalami kecelakaan tersebut dapat terselamatkan atau terhindarkan dari
kecelakaan tersebut (ada mukjizat keselamatan atau masih hidup), meskipun hal
tersebut tidak mungkin.
2. Sebagai ungkapan atau permohonan keselamatan bagi
keluarga mereka yang telah meninggal dalam kecelakaan tersebut, dan dapat
diterima di sisi Allah.
3. Sebagai ungkapan kesedihan yang mendalam, dan mohon kepada
Tuhan supaya memberikan kekuatan kepada mereka yang ditinggalkan.
4. Dalam hal ini
juga dapat dikatakan bahwa manusia tidak dapat mengatasi kematian atau maut
yang akan menimpa dirinya. Manusia lemah, tidak berdaya, maka manusia memohon
kepada Tuhan supaya menurunkan kasih karunia-Nya.
Masih banyak harapan-harapan
yang lainnya. Dalam hal ini, bagaimana cara orang beriman kepada Tritunggal Maha
Kudus memandang atau menyikapi kematiaan bagi tubuhnya yang
fana, dan bagaiman kehidupan setelah
kematiaan?,
dan apa kematian itu menurut pandangan Gereja Katolik?
B.
APA ITU KEMATIAN?
F.X. Schouppe, Sj (2007; 5) mengatakan banyak orang
ketika masih muda dan sehat (masa hidupnya) belum memberikan perhatian terhadap
hidup setelah mati. Konsep tentang api penyucian, neraka dan surga ada dalam
kehidupan manusia setelah ia merasa tidak mampu, sakit-sakitan dan sebagainya,
baru hal ada dalam benak pikirannya. Kematiaan jasmani adalah sebuah peristiwa hidup yang tidak dapat kita hindari, artinya kita
tidak dapat menjahukan diri dari kematiaan, karena pada dasarnya semua makhluk
yang ada di dunia ini berakhir dengan kematiaan raganya. Dalam hal ini, tidak jarang juga manusia menyalahkan Tuhan yang harus
mengakhiri hidup manusia. Dalam hal semacam ini, orang tersebut tidak melihat
rencana Tuhan yang begitu besar dalam hidupnya, karena ia sudah menutup pintu
hatinya akan kasih karunia Tuhan, kecintaannya kepada harta dan duniawi ini
menutup pintu hatinya akan keselamatan setelah kematiaan (hidup kekal). Sebagai
orang beriman kepada Yesus Kristus sebagai penyelamat, hendaklah orang beriman
harus yakin dan bercaya kepada kasih Allah yang mendalam dalam dirinya dan
bekerja memberikan kehidupan yang kekal dalam dirinya.
Dengan demikian, apa kematian itu?. Otto Hantz (2005;
75-82) dalam bukunya yang berjudul “Pengharapan Kristen” mengatakan bahwa
kematian merupakan tantangan mendasar bagi pengharapan manusia. Menurutnya
juga, kematia merupakan akhir dari sejarah hidup manusia, karena kematian juga
membebaskan seseorang dari penderitaannya. Sebagai contoh kematian sebagai
sebuah pembebasan dari penderitaan, ada orang-orang yang tertentu mengatakan
bahwa ia sudah jenuh hidup di dunia ini, maka menurutnya mengapa memperpanjang
umur, lebih baik mati. Meskipun ada orang yang demikian, ada juga segelintir
orang menolak kematiaan, meskipun hal tersebut tidak dapat dihidari.
Dengan berdasarkan pada pandangan dari Konsili vatikan II
(GS 18) Otto Hantz mengatakan bahwa kematian dapat menambahkan kebebasan kita
pada waktu sekarang dan mendorong kita untuk hidup secara autentik (asli, sah,
dapat dipercaya). Dalam hal ini, kematian mengingatkan kepada kita bahwa
sejarah pribadi yang sedang kita ciptakan atau kita jalani adalah unik dan
tidak dapat kita peroleh kembali setelah kematian itu datang pada kita. Menjadi sebuah pertanyaan, apa gunanya hidup secara autentik jika hidup hanya berakhir
pada peristiwa kematiaan? dan mengapa kita harus hidup secara serius jika pada
akhirnya kita akan mati?
Dalam hal ini, konsili Suci mengatakan “kenyataan maut sama
sekali tidak terbayangkan”. Konsili juga menegaskan bahwa pewahyuan Ilahi menjankau kecemasan kita akan kematian. Kematian Kristus telah
mengalahkan kekuatan maut. Ini juga memiliki makna bahwa dengan didasarkan pada
pewahyuan tersebut, pengikut Kristus hidup dalam sebuah pengharapan, meskipun
ia harus berhdapat dengan kematiaan.
Ada beberapa hal yang dapat digunakan sebagai pedoman
bagi orang Kristiani untuk memahami kematian.
1.
Kematian Merupakan Akhir dari Perziarahan Duniawi Manusia
Orang dapat dikatakan keliru apa bila ia menganggap bahwa
kematian merupakan akhir dari perziarahan hidup di duniawi ini. Kata atau
pemahaman semacam ini muncul karena ia membayangkan bahwa kehidupan yang kekal
sebagai kelanjutan hidup pada sekarang. Dalam hal ini harus dipahami bahwa,
kehidupan kekal bukanlah kelanjutan dari kehidupan temporal. Harus dilihat
bahwa manusia membangun sebuah pilihan yang mendasar, artinya semasa proses
manusia hidup di dunia ini, dari waktu ke waktu merupakan pencapaian definitif
hubungan manusia dengan Allah. Dengan
inilah pertanyaan, mengapa kita harus mati terjawabkan, karena akhir dari
kehidupan duniawi dengan melalui kematian merupakan serangkaian gerakan menuju
kepada kekekalan Allah.
Jadi, kematian bukan lagi momen dan serentetan momen,
hanya berbeda karena kematian merupakan momen yang terakhir dalam kehidupan
manusia. Kematian juga merupana masa transisi dari kehidupan temporal dengan
kehidupan yang kekal bersama Allah. Dalam hal ini juga, kematian dapat
dikatakan sebagai sebuah peristiwa melalui sesuatu, bukan setelah sesuatu untuk
mencapai kehidupan kekal.
2.
Kematian sebagai Tindakan Pribadi
Deskripsi tradisional tentang kematian sebagai perpisahan
badan dan jiwa tidak menunjukkan secara memadai karakter kematian personal.
Tentu saja, dalam satu hal kematian adalah impersonal. Menurut Otto Hantz
(2005), manusia dalam kenyataanya memiliki struktur fisik, dan kehancuran
struktur tersebut adalah sesuatu yang terjadi pada manusia. Dalam hal ini,
manusia bukanlah sebagai objek melainkan sebagai subjek yang bebas, dalam
keterbatasan-keterbatasan kodratnya, memilih siapa yang ia inginkan sebagai
pribadi. Kerena kematian mempergaruhi semua realitas seseorang, kematian sama
sekali bukan sesuatu yang terjadi secara kebetulan pada seseorang dari luar,
yakni kejadian yang membuat seseorang hanya pasif. Mati juga sesuatu yang
terjadi dari dalam, sesuatu yang dilakukan oleh seorang pribadi. Sebalinya,
peristiwa penting kematian akan mempengaruhi manusia sebagai pribadi, sebagai
subjek yang bebas.
Aspek personal kematian adalah dalam kematian seseorang
secara aktif membawa keseluruhan hidupnya menuju kepada kepenuhan. Melalui
waktu, seseorang menentukan sebuah pilihan yang mendasar, di dalam kematian
kebebasan mengambil bentuk akhirnya, dan pilihan mendasar menjadi definitif.
Dalam kematian, kita membawa sejarah kebebasan kita menuju kepada suatu akhir,
artinya mengapa kematian tidak dapat hanya dikatakan akhir dari kehidupan ini,
tetapi permulaan akan kehidupan yang abadi, karena bergerak menuju kehidupan
abadi tidak setelah mati, akan tetapi di dalam dan setelah kematian.
Kematian bukanlah peristiwa tunggal dan terpisah, karena
ia tidak menyempurnakan hidup kita di dunia ini. Dalam hal ini, kematian dapat
dikatakan proses seumur hidup kita di dunia ini, terutama dalam hubungan kita
dengan Allah. Artinya, sejauh kita melakukan hubungan dengan Allah dalam Iman,
harapan dan kasih hidup kita adalah kematian. Contohnya kita mati terhadap
keakuan diri kita, keakuan yang melecehkan penciptaan Allah, keakuan yang
mendominasi hidup kita. Kematian ini adalah pemberiaan diri kita kepada Allah,
kerena ketaatan kita kepada kehendak-Nya, dan kita meninggalkan “keakuan diri
kita” di dunia ini.
Jadi, dari sudut pandangan iman, kematian sama sekali
tidak identik kemtaian klinis, karena hidup manusia lebih jauh dari pada
kehidupan biologis, dan kematian manusia lebih jauh dari pada kematian klinis.
Artinya kita harus membendakan antara kematian sebagai akhir dari kehidupan
temporal dan kematian sebagai pilihan mendasar untuk menyerahkan diri kepada
misteri Allah. Dalam kematian badani, keputusan yang dibentuk sepanjang hidup
mencapai akhir. Dalam
hal ini, kematian menyempurnakan
kehidupan baik dari penyerahan terhadap Misteri Allah,
terutama dalam pengharapan maupun dari dimensi yang berpusat pada diri sendiri
untuk berada dalam keadilan total dalam hidupnya. Bagi orang Kristiani,
kematian adalah proses pemberian dari sepanjang hidup dalam setiap sekarang
menuju kepada misteri Allah, dalam pengharapan akan kehidupan sejati. Hendaklah
dalam masa hidupnya, orang yang beriman Kristiani benar-benar mengarahkan
hidupnya kepada kehendak Allah, karena dengan demikianlah ia akan mendapat
kehidupan kekal.
3.
Kematian sebagai Akibat Dosa
Pertanyaannya, mengapa takut mati? Menurut Kitab Suci
Perjanjian Baru, Gereja mengajarkan bahwa kematian yang kita alami secara nyata
adalah akibat dari dosa yang kita miliki. Dalam pengalaman akan kematian,
kedosaan menusia menuntun menuju kegelapan dan ketakutan. Dalam hubungannya
dengan keadaan jasmani manusia sebagai kodrat (struktur yang diberikan), dan
pribadi (kebebasan membentuk diri) maka kematian merupakan sebuah pengalaman
yang sekaligus bersifat pasif dan aktif, artinya kematian merupakan sebuah
peristiwa yang tidak kita pilih, seperti halnya dengan korban dan keluarga
korban dalam kecelakaan pesawat sukhoi. Jika ditanya, tentu mereka menginginkan
kehidupan dari pada mati.
Sebagai sebuah peristiwa yang tidak kita inginkan, kematian juga akan kita lakukan, karena kamatian
merupakan penyempurnaan aktif atas keseluruhan hidup. Karena ada pandangan yang
dualita kepasifan dan keaktifan ini membuat kematian menjadi kabur. Di satu
sisi, kematian membawa manusia kepada kesempurnaan, di sisi lain kematian
mereduksi manusia kepada ketidakberdayaan, contohnya kematiaan muncul baik
sebagai tindakan aktif maupun pasif, akhir maupun
kepenuhan, yang dikehendaki maupun yang diderita, dan sebagai yang kelimpahan
maupun kekosongan. Karena ada pandangan yang semacam ini, maka munculah kegelapan
yang menakutkan dalam kematian.
Lalu, apa hubungannya kematian sebagai akibat dosa? Dalam
sejarah kita, kita memandang kematian sebagai sebuah kegelapan yang membuat
takut atau menakutkan dan menyakitkan, dengan pandangan semacam ini manusia
menjadi egois dan berbuat dosa kerena menolak kehendak Allah, meskipun manusia
menjadi objek cinta Allah. Dalam masa hidup kita, kita bekerja menurut kehendak
kita sendiri yang dipengaruhi oleh dosa dan dosa yang kita lakukan ini
melipatgandakan tragedi tersebut. Karena semuanya ini, maka suraklah identitas,
pilihan mendasar kita, yang seharusnya kita kembangkan. Jika kita memberikan
diri kepada kehendak Allah, maka kita akan menghadapi kematian sebagai
kekosongan atau sebagai kepenuhan.
C.
MAKNA KEMATIAN ORANG KRISTIANI YANG PERCAYA
Sekalipun orang percaya di dalam Kristus memiliki jaminan
hidup kebangkitan, mereka masih harus mengalami kematian jasmaniah. Tetapi
orang percaya menghadapi kematian dengan sikap yang berbeda dari orang tidak
percaya. Berikut adalah beberapa kebenaran yang dinyatakan oleh Alkitab
mengenai kematian seorang percaya kepada Yesus Kristus.
1.
Orang Kristiani Mati Bersama Kristus
Dalam Yesus, misteri Allah sendiri memasuki keterbatasan,
kerapuhan, dan kematian umat manusia. Kematian Yesus Kristus membuka
pintu perdamaian antara manusia dengan Allah dan oleh kurban-Nya manusia dapat
memperoleh keselamatan dan hidup yang kekal. Ketika masih berdosa dan menjadi
seteru Allah, Kristus wafat bagi umat manusia untuk mendamaikan manusia dengan
Allah. Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma mengatakan “karena kita sekarang telah dibenarkan oleh
darah-Nya, kita pasti akan diselamatkan dari murka Allah. Sebab jikalau kita,
ketika masih seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh kematian Anak-Nya,
lebih-lebih kita, yang sekarang telah diperdamaikan, pasti akan diselamatkan
oleh hidup-Nya” (Rm 5:9-10). Maka oleh Adam, kita manusia jatuh dalam dosa,
sedangkan oleh Kristus kita memperoleh hidup yang kekal (bdk. Rm 5:12-18). Oleh
ketidaktaatan Adam kita semua jatuh dalam dosa, namun oleh ketaatan Yesus kita
semua dibenarkan. (bdk. Rm 5:19). Kita menerima rahmat kehidupan kekal pada
saat kita dibaptis di dalam kematian Kristus, untuk dibangkitkan bersama-sama
dengan Dia dan memiliki kehidupan yang baru bersama Dia (bdk. Rm 6:1-4).
Meskipun berada dalam kegelapan kematian, dasar pengharpan Kristiani adalah
kematian Yesus, karena oleh kematian-Nya mencapai puncak dalam kebangkitan-Nya.
Bila kematian
bagi manusia merupakan keinginan dan tindakan, sesuatu yang diderita dari luar
tetapi juga sesuatu tindakan internal yang menyempurnakan hidup. Hal ini juga
terjadi pada diri Yesus Kristus. Kitab Suci mengatakan, kematian datang kepada
Yesus dari luar “Ya Abba, ya Bapa, tidak
ada yang mustahil bagi-Mu, ambillah cawan ini dari pada-Ku, tetapi janganlah
apa yang Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki“ (Mrk 15:36),
kematian Yesus juga menyertakan kegelapan dan kesakitan yang mendalam “Allahku, Allahku, mengapa Engkau
meninggalkan Aku” (Mrk 15:34). Meskipun demikian, harus kita yakini bahwa
kematian Yesus merupakan kehendak pribadi-Nya sendiri. Yesus menerima
kematian-Nya kerena kesetiaan-Nya kepada kehendak Bapa-Nya “janganlah apa yang Aku kehendaki, melainkan
apa yang Engkau kehendaki” (Mrk 14:36). Yesus menyerahkan Diri-Nya kepada
Bapa-Nya (bdk. Luk 23:46). Artinya, kematian Yesus
Kristus adalah inti dan puncak kehidupan dalam ketaatan kepada Bapa dan
kesetiaan pada misi yang Ia jalankan (Otto hentz. 2005; 81).
Secara teologis
dapat dikatakan bahwa dalam inkarnasi Yesus mengidentikkan diri-Nya dengan umat
manusia, kendati Ia tampa dosa (bdk. Flp 2). Yesus mengambil untuk diri-Nya
terhadap situasi manusia yang terpecah belah. Yesus datang ke dunia untuk umat
manusia yang tidak memiliki tempat atau dasar untuk berdiri, yang terputus dari
Allah dan sesama. Dalam hidup-Nya, Yesus tidak hanya menyamakan identitas
diri-Nya saja, akan tetapi Ia mewakili manusia untuk datang kepada Bapa, Ia
menjadi orang yang memberikan jawaban yang terakhir atas nama umat manusia
(bdk. Ibr 8-10), sehingga perjanjian manusia dengan Allah menjadi nyata dalam
diri Yesus Kristus. Dalam perjalanan dan kehidupan-Nya di dunia ini, hidup
Yesus dipenuhi dengan 2 prinsip, diantaranya: Pertama, Ia sepenuhnya mengabdi kepada kehendak Bapa “Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang
mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya” (Yoh 4:34). Yesus mengambil
hidup dari Bapa, dan Bapa adalah “wadas” di atas nama Yesus, dan kepada Bapa
juga Yesus mengabdikan kepenuhan dan seluruh hidup-Nya. Kedua, Yesus mengabdi sepenuhnya kepada misi-Nya “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada
kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh
15:13). Dalam hidup-Nya, Yesus “senantiasa mengasi mereka yang adalah
kepunyaan-Nya” (John Fuellenbach. 2006; 306-307).
Menurut Otto
hentz (2005), salib Kristus menandai batapa sempurnanya Allah masuk dalam
penderitaan manusia. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa salib adalah tenda
cinta Allah yang mengosongkan diri. Salib juga adalah tanda yang menjaga
harapan manusia terhadap kepenuhan hidup melalui cinta pemberian dalam
kehidupan dan kematian. Salib juga tanda bahwa Allah bermaksud menjadikan
manusia kehidupan dan kematian Yesus (bdk. Rm 6:8, 10-11).
Jadi, jika kita hidup di dalam Kristus, maka
kematian adalah suatu keuntungan. Karena jika kita hidup menurut segala
perintah-Nya, maka kita akan hidup untuk Kristus. Bagi umat beriman, kita tidak
hidup untuk diri kita sendiri, dan juga tidak mati untuk diri kita sendiri.
Sebab jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan, dan jika kita mati, kita mati
untuk Tuhan (Rm 14:8). Maka dengan selalu tinggal di dalam Dia, tidak menjadi
soal apakah kita hidup atau mati. Rasul Paulus mengatakan, “Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati
adalah keuntungan,” (Fil 1:21) karena melalui kematian kita pergi untuk
bertemu dengan Kristus dan diam bersama-sama dengan Dia (bdk. Fil 1:23). Pada
saat itulah, kita akan melihat Dia dalam keadaan-Nya yang sebenarnya (1 Yoh
3:2). Maka dalam arti kehidupan kekal ini, maka dapat dikatakan, “hari kematian lebih baik dari hari kelahiran”
(Pkh 7:1). Artinya bahwa setiap orang
Kristiani yang memiliki kepercayaan dan mampu setia akan tugas dan pelayanannya
kepada kehendak Allah maka ia akan dibangkitkan, serta mecapau kepenuhan
hidupnya (hidup bersama dengan Allah).
2.
Kebangkitan
Pengharapan akan Kerajaan Allah memiliki dasar
dalam kebangkitan Kristus, yang mengukuhkan realitas Kerajaan Allah dalam
kepenuhan. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, apa itu kebangkitan? bagaimana
mengatahui kebangkitan dari iman? dan apa yang diungkapankan oleh kebangkitan
tentang pengharapan kepada kita?
Menurut Otto
hentz (2005) definisi kebangkitan adalah suatu peristiwa penerimaan Yesus oleh
Allah secara penuh kedalam dimensi kehidupan kekal Allah dan daya yang memberi
kehidupan. Dalam kebangkitan, Allah secara definitif menerima seluruh pribadi
Yesus meskipun kekalahan dan kehancuran-Nya yang nyata dalam kematian.
Menurut C. Groenen (1973) makna kebangkitan Yesus Kristus dari
kematian adalah kebangkitan sebagai tindakan penyelamatan Allah. Oleh Allah,
Yesus dibangkitkan dari alam maut (bdk. 1Kor 15:4). Dengan menakankan bahwa
Yesus dibangkitkan dari Allah maut oleh Allah, maka
Perjanjian Baru menandaskan bahwa kebangkitan itu bukanlah sesuatu yang berdasarkan
sesuatu yang konkrit dan alamiah, misalnya “jiwa yang tidak dapat mati” seperti
yang dikatakan oleh antropologi Yunani. Di dalam manusia sendiri, bahkan dalam diri Yesus dari Nazaret sendiri tidak
diketemukan sebuah prinsip kebangkitan sebagi sebuah prinsip yang wajar dalam
alamiah serta konaturil. Yesus yang disalibkan sungguh mati seluruhnya dan dari
dalam tidak ada harapan sedikitpun bahwa Ia akan dapat mengatasi keadaan
manusia mati. “Immortalitas animea”
dari antropologi Yunani tidak bersangkutan sedirikpun dengan paham kebangkitan
seperti yang diajarkan oleh Perjanjuan Baru tentang Yesus dari Nazaret. Hanya
Allah seja yang benar-benar dapat mengatasi keadaan orang mati, termaksuk diri
Yesus dari Nazaret. Yang menjadi prinsip kebangkitan Yesus adalah daya kerja,
kuasa dan kemuliaan Allah (bdk. Rm 6:4).
Menurut Luis M.
Bermejo (2009; 29) dalam kebangkitan Yesus, kita tidak hanya menghadapi
pembangkitan mayat, tetapi kebangkitan yang sesuangguh-sungguhnya, kebangkitan
ke bentuk hidup yang baru, yang mengubah sapai kedasarnya dan definisinya. Bapa
menanugerahkan kepada Yesus suatu hidup yang
baru sebagaimana diungkapkan oleh Rasul Paulus kepada jemaat di Korintus “Karena sekalipun Ia telah disalibkan oleh
karena kelemahan, namun Ia hidup karena kuasa Allah” (2Kor 13:4), kuasa
Allah seperti apa, sudah tentu kuasa Allah yang menghidupkan karena kuasa Allah
tersebut menjadi sumber akhir dari hidup Yesus yang sudah dibangkitkan. Dengan
demikian, Yesus diterima ditempat di sisi Bapa berada.
Dengan
demikian, bagaiman orang Kristiani harus menyikapi peristiwa kematian badannya
dengan berdasarkan imannya kepada Yesus Kristus sebagai Putra Allah yang
menyelamatkan. Dengan pengharapan yang penuh, dan dengan sukacita yang
berlimpah hendaklah orang Kristiani berani memandang atau melihat peristiwa
kematian sebagai sebuah tangapan akan panggilan Allah yang menyempurnakan
hidupnya.
3.
Hidup Dalam
Harapan yang Penuh Sukacita.
Keutamaan
harapan yang indah, akan tetapi sayangnya sering kali diabaikan. Di masa
lampau, Allah telah membuat janji-janji penyelamatan, dan janji-janji itu
ditangapi oleh manusia dengan iman. Janji-janji itu sekarang sudah terpenuhi
sebagian, dan pemenuhi janji baru yang segar yang mendorong manusia ke masa
depan. Manusia memandang masa lampau di mana ia menemukan Allah yang setia yang
telah menjanjikan keselamatan. Manusia percaya berdasarkan iman pada campur
tangan Allah di masa kini dan dibawa maju melalui harapan ke masa depan.
Artinya, tujuan janji masa lampau didasari manusia dengan iman, dan kesadaran
akan masa lampau melahirkan herapan-harapan ke masa depan.
Orang Kristiani
hendaknya hidupnya selalu penuh dengan harapan. Menurut Rasul Paulus, orang
Kristiani hanya mengharapkan satu hal saja, yakni mengambil bagian dalam
kemuliaan Allah. Bagi orang Kristiani, herapan adalah lentera cahaya yang agak
kabur dan tidak pasti, yang menerangi jalan manusia ke masa depan. Mengapa
kabur dan tak pasti, Paulus mengatakan dalam suratnya kepada jemaat di Roma “karena semua orang telah berbuat dosa dan
telah kehilangan kemuliaan Allah” (Rm 3:23), mereka tidak memiliki bagian
dalam cahaya sendiri, akan tetapi pada saat mereka memiliki harapan mereka akan
bermegah dengan pengharapan akan menerima kemuliaan Allah (bdk. Rm 5:2).
Manusia mengharapkannya “sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini
tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita” (Rm 8:18). Kita semua menuju kepada kecemerlangan di masa depan.
Dalam kenyataannya, manusia pendosa berada dalam
kegelapan, tetapi ada harapan akan terang yang, dengan memberi isyarat untuk
menuju ke depan, untuk menerangi jalannya. Kemuliaan Allah yang lebih dahulu
bersinar, itulah yang menjadi sasaran harapan manusia yang penuh dengan
kepercayaan, dengan demikian cahaya Allah akan menjadi cahaya manusia, dan
kemualiaan Allah akan menjadi kemuliaan manusia. Berkas sinar dari
kecermelangan inilah yang memberikan isyarat kepada manusia untuk terus maju
(Luis M. Bermejo. 2009; 303-306).
Ke pada siapakan manusia menghaturkan harapannya?. Luis M
Bermejo (2009) mengatakan bahwa Tritunggallah sebagai dasar harapan orang
Kristiani. Kemuliaan Ilahilah yang menjadi tujuan harapan oeng Kristiani pada
masa di dunia ini. Pada dasarnya, manusia tidak maju untuk mengambil bagian
pada kemuliaan Allah yang kabur, melainkan menuju ke sesuatu yang lebih konkrit
, yakni ikut ambil bagian dalam kemuliaan Yesus yang bangkit. Secara mendasar,
cahaya Allah yang hadiri dalam Kristus Paskah itulah yang diharapkan oleh
manusia, dan bila pada akhirnya ia mencapainya, tujuan yang amat diinginkannya
akan menjadi kenyataan.
Harus kita akui bahwa, sekarang hidup manusia seperti
pendakian yang berharap-harap ke gunning Tabor. Di puncak gunung itu, pada
akhir perjalanan, manusia bertemu dengan Kristus yang telah berubah, yang
menjadi tujuan harapan manusia pada masa sekarang dan tujuan pemenuhan manusia
kemudia. Pada masa sekarang manusia masih menunggu “Juru selamat yang akan mengubah tubuh kita yang hina ini, sehingga
serupa dengan tubuh-Nya yang mulia, menurut kuasa-Nya yang dapat menaklukkan
segala sesuatu kepada diri-Nya” (Fip 3:21).
Seperti Stefanus pada waktu ia akan meninggal, manusia
akan bejumpa dengan Kristus yang sudah dimuliakan, dan pada waktu itu manusia
akan dibersikan dan akan diadili seturu perilaku manusia semasa di dunia, dan
akan dibangkitkan ke dalam hidup bersama Kristus,
karena manusia sudah ikut ambil bagian dalam kehidupan-Nya, dan padan akhirnya
akan diterima ke dalam kerajaan terang dan perdamaian-Nya. Inilah menurut Luis
M Bermejo (2009) keidahan dan arti penuh kematian bagi orang Kristiani pada
waktu harapannya terwujud dan pada akhirnya kehausannya akan Kristus dipuaskan.
Berharap untuk masa depan adalah berharap untuk kemuliaan Kristus yang telah
berubah. Tujuan harapan manusia amatlah sederhana, yaitu Yesus yang telah
bangkit, yang akan menariknya ke dalam perubahan-Nya sendiri.
Motif bagi harapan manusia adalah Roh Kudus. Roh Kudus
adalah anugerah tertinggi Kristus yang bangkit bagi Gereja yang baru lahir.
Pada waktu Yesus hendak menuju atau naik kepada Bapa, Ia menjanjikan Roh Kudus
kepada para murid-murid-Nya ”Ia melarang
mereka meninggalkan Yerusalem, dan menyuruh mereka tinggal di situ menantikan
janji Bapa……akan dibaptis dengan Roh Kudus” (Kis 1:4-5). Hal tersebut terjadi
pada hari Pentakosta, dimana Roh Kudus dicurahkan kepada para murid. Bapa telah
berjanji bahwa Ia akan mencurahkan Roh Kudus kepada manusia, dan janji itu
segera terpenuhi, baik pada hari Pentakosta maupun pada penerimaan Sakramen
Baptis. Rasul Paulus mengatakan dalam suratnya kepada Jemaat di Efesus “dan Roh Kudus itu adalah jaminan bagian kita
sampai kita memperoleh seluruhnya, yaitu penebusan yang menjadikan kita milik
Allah, untuk memuji kemuliaan-Nya” (Ef 1:14), atau “Roh Kudus adalah janji” (Kis 2:33). Roh Kudus adalah pemenuhan
janji Bapa.
Roh Kudus diberikan
kepada manusia yang percaya (orang Kristiani) hanya sebagai Arabhon “uang
muka”, dan belum seluruh pembayarannya. Roh Kudus adalah janji akan kenyataan
penuh yang akan mendatang, dan Roh Kuduslah yang menguduskan orang Kristiani
yang percaya, artinya selama manusia itu masih hidup, pengudusan tersebut belum
lengkap. Pengudusan itu bertumbuh dan berkembang, pengudusan itu belum
sempurna, dan juga Roh Kuduslah yang dengan diam di dalam tubuh manusia
menjadikannya putra dan putrid Bapa, akan tetapi keputraan
tersebut belum lengkap, akan menjadi lengkap pada hari kebangkitan. Pengudusan,
keputraan, dan kemerdekaan merupakan tiga kenyataan yang amat menakjubkan yang dianugerahkan kepada orang Kristiani melalui Pribadi Roh
Kudus. Ketiga anugerah tersebut pada dasarnya menuntut pemenuhan, karena oleh
dinamisme internalnya, anugerah tersebut bergerak maju menuju pemenuhannya di
masa depan. Roh Kudus yang aktif dalam kehidupan
orang Kristiani mendorongnya untuk maju dan mengatasi dinamika kenyataan yang
pada saat ini, dan semuannya akan berkembang yakni ketiga Gereja yang berziarah
mencapai pada akhir perjalanannya.
Namun, dasar
harapan manusia yang terakhir adalah pribadi Bapa. Dalam suratnya kepada jemaat
di Roma, Paulus mengatakan
manusia sudah
berada dalam kasih karunia Bapa, yakni manusia berdiri pada kemurahan dan
kebangkitan Bapa yang penuh kasih yang mengelilingi manusia seperti suasana
yang melingkupi manusia. Manusia berjemur dalam sinar matahari kebaikan,
dihangatkan dan belai oleh sinar cahaya dan sinar kehadiran-Nya yang lembut dan
menghibur, akan tetapi sinar ini belum merupakan kepenuhan kemuliaan-Nya yang
gemilang, maka dari pada itu manusia bermegah dalam pengharapan akan menerima
kemuliaan Allah. Manusia memandang ke depan dengan penuh keyakinan dan
kepercayaan bahwa pada suatu saat akan dimasukkan ke dalam cahaya Bapa (Rm 5:2-5).
Sebagai bukti
dan jaminan yang hampir dapat dirasakan bahwa, harapan tersebut bukanlah
sesuatu yang kosong, Bapa telah memberikan kepada manusia yakni Roh Kudus dan
sekarang diam di antara kita, dan dengan demikian manusia menikmati sinar
lembut dari kemurahan Bapa, tetapi manusia belum puas dengan anugerah keduanya
itu, manusia bergerak menuju dari ketidakpenuhan menjadi kepenuhan, dari
pemilik yang belum semperna menuju kepada warisan sepenuhnya, dan Roh Kuduslah
yang mendorong manusia untuk bergerak terus (Luis M Bermejo. 2009).
Intinya adalah
bahwa Allah tidak membiarkan manusia hidup dalam kegelapan. Allah selalu
mengasihi manusia. Ia ingin supaya manusia mendapat tempat bersama-Nya di dalam
kerajan-Nya. Roh Kudus adalah anugerah Allah
yang tinggi, yang dianugerahkan kepada manusia, dengan Roh Kudus yang diam di
dalam manusia itulah Allah menarik manusia untuk kembali kepada-Nya.
Pengharapan adalah cara manusia untuk mempu melihat kemuliaan Allah yang
dijanjikannya kepada manusia. Roh Kudus juga yang mempu membuat manusia
berharap akan kasih karunia Allah yang menyelamatkan. Sebenarnya apa inti dari
pengharapan orang Kristiani?.
4.
Kita akan
Dibangkitkan.
Paulus adalah
nama yang dipakainya setelah ia mengimani Kristus, sebelumnya ia dipanggil
Saulus. Bukan Kristus yang wafat, tetapi Kristus yang bangkit yang dilihat oleh
Paulus dalam perjalanannya ke Damsyik. Pengalaman ini adalah pengalaman yang
menuntun orang yang sebelumnya “tampa batas menganiaya jemaat Allah” (bdk. Gal
1:13), sehingga menjadi orang yang penuh semangat mengikatkan diri pada
Kristus, tetapi juga terobsesi oleh kebangkitan-Nya, dan kebangkitan Kristus
yang ia lihat, itulah yang Paulus wartakan kepada semua orang, baik yang
percaya maupun yang tidak percaya. Meskupun demikian, ada banyak orang yang
berbeda dalam menangapi kebangkitan Kristus yang ia wartakan (bdk. Kis 17: 18;
32; Kis 23: 10). Walaupun demikian, pewartaan Paulus tentang
kebangkitan Yesus mendapat tangapan di Kota Korintus. Kebahagiaan manusia
adalah lepas dari tubuh, karena tubuh adalah penjara jiwa, karena itu,
kehidupan manusia setelah kematiaan akan membawa tubuh kembali kepada penjara,
dan kebahagiaan tertinggi manusia adalah lepas dari tubuh dan tidak dipenjara
lagi oleh tubuh.
Di lihat dari
latar belakang pemikiran kafir ini, kepercayaan orang Kristiani akan
kebangkitan tampak menjadi sebuah omong kosong yang bodoh. Di mata orang
Yahudi, cita-cita orang Kristiani akan kebangkitan ini merupakan kemunduruan
dan bukan kemajuan, serta tidak masuk akal. Memikiran inilah yang merasuki
komunitas Kristiani dan menggoncangkan iman murid-murid Paulus akan kebangkitan
Kristus dan kebangkitan mereka sendiri.
Jika ini
terjadi pada masa sekarang, dan ditanyakan kepada seorang katekis, apa yang
harus dilakukan, atau apa yang seharusnya menjadi jawaban seorang katekis? Atas
pergumulan dan pertanyaan yang semacam ini, Luis M Bermejo (2009) dalam bukunya yang berjudul “Makam Kosong” memberikan
dua hal, pertama Iman lebih kuat dari pengalaman, dan kedua, akar dari
kebangkitan.
a.
Iman Lebih Kuat
dari Pengalaman.
Menurutnya,
iman dan pengalam pribadi manusia kadang-kadang berbicara dalam bahasa yang
sama dan menyampaikan pesan yang sama, akan tetapi hal tersebut tidaklah sama
terus, karena semakin seseorang berbicara tentang “kematian” maka akan terjadi
perbedaan, bahkan berlawanan. Artinya, hal tersebut akan membuat manusia
menarik sebuah kesimpulan yang berlawanan pula.
Misalkan,
pengalaman pada waktu memakamkan atau menguburkan seseorang, dengan sendirinya
pengalaman manusia mengatakan bahwa manusia tidak memiliki harapan, karena
manusia mati menuju kepada makam kosong, dan itu semua adalah akhir dari
perjalanan hidup ini. Ini juga berarti bahwa manusia berakhir dengan kekosongan,
kegelapan dan kehancuran. Semuannya ini adalah yang disampaikan oleh pengalaman
manusia.
Berlawanan
dengan iman. Dengan Iman manusia mampu melihat, bahwa kematian adalah sebuah
kepenuhan dari panggilan hidup manusia, bukan kekosongan. Dalam kubur, bukan
kegelapan yang dilihat, akan tetapi terang yang cemerlang, dan bukan kematian
yang melumpuhkan akan tetapi hidup yang tumbuh. Dalam hal ini, artinya kematian
bukan akhir akan tetapi awal dari kehidupan. Manusia mengatasi kematian karena
Allah telah memaksudkan manusia untuk hidup, bukan untuk mati. Dalam hal ini,
kubur adalah perpindahan untuk hidup abadi. Bagi orang Kristiani, jelas pesan
imannyalah yang harus diunggulkan atau unggul atas bisikan pengalaman pribadi
yang menipu. Karena pesen yang disampaikan oleh iman ini merupakan harapan yang
teguh dan tak tergoyahkan akan kebangkitan.
Menurut Paulus,
dagin dan darah tidak mendapat bagian dalam Kerajaan Allah (bdk. 1Kor 15:50).
“Kebangkitan badan” sama sekali tidak mungkin terjadi karena kata-kata itu
tidak pernah muncul bahkan sekalipun dalam PB. Dalam hal ini, Perjanjian Baru
lebih menyukai “kebangkitan orang mati”, karena manusia seluruhnya yang sudah
menjalani kematian, terus hidup. Harus dikatakan bahwa ketika berbicara tentang
kebangkitan orang mati, sesungguhnya kita menugunakan metafora yang diambil
dari pengalaman kesehariaan kita, yakni tidur dan bangun. Kita harus sadar
bahwa bahasa kita simbolis, dan bukan simbol itu
sendiri “kebangkitan” , tetapi kenyataan yang disampaikan oleh lambang itu
sendirilah yang harus ditekankan. Kenyataan itu adalah terus hidupnya seseorang
setelah kematian.
Jadi, pesan
yang disampaikan oleh iman adalah bahwa manusia akan hidup, dan bahwa seluruh
manusia maupun seluruh pribadi, dimaksudkan untuk hidup terus, artinya hidup
abadi. Namun, ungkapan tak jelas seperti “keselamatan jiwa” harus sepenuhnya
dibuang dari perbendaharaan kata Kristiani, karena cara berbicara itu lebih
dipengaruhi oleh filsafat kafir Yunani dari pada iman Kristiani. Dalam hal ini,
kebangkitan janganlah dicampur adukan dengan kebangkitan mayat, artinya hal
yang bisa dipikirkan oleh orang banyak, karena pada kenyataannya mayat harus
dimasukkan ke dalam peti, dan dikuburkan, dan hal ini sama sekali tidak
memiliki hubungannya dengan ajaran tentang kebangkitan. Harus kita pegang
teguh, bahwa kehidupan kembali orang yang telah meninggal tidak mencakup mayat
manusia yang dilepas atau ditinggalkan pada saat kematian.
b.
Akar Kebangkitan
Yesus dalam
kehidupan-Nya di dunia ini tidak mengajarkan tentang sesuatu yang baru berkaitan dengan kebangkitan. Tentang kebangkitan sesudah kematian, hal
tersebut sudah diketahui oleh orang Israel, bahkan ajaran ini telah tersebar
luas di dalam kalangan mereka. Tetapi Yesus mulai bergerak secara mendasar dan
puncaknya pada Paulus. Dalam pewartaan-Nya, Yesus mengatakan “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa
percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati” (Yoh 11:25).
Perkataan ini adalah pesan yang diberikan oleh Yesus kepada Marta beberapa hari
setelah saudaranya Lazarus meninggal. Hendaklah orang Kristiani memandang
Lazarus hidup kembali, bukan kebangkitan Lazarus, karena di mata pengarang yang
melaporkannya merupakan lambang kebangkitan akhir orang Kritiani. Lazarus
keluar dari kuburnya karena menantikan Yesus, dan hidupnya yang baru adalah
kelanjutan dari hidupnya yang sebelumnya. Hidupnya Lazarus itu hanya
pembangkitan mayat kedalam hidup yang sebelumnya yang sama. Artinya, Lazarus
memang mati, akan tetapi kematiannya hanya sementara, karena ia diangkat
kembali kehidup sehari-hari yang sama. Dan harus kita akui, inilah kekayaan dan
kemiskinan lambang, ketika menceritakan peristiwa pembangkitan Lazarus, meminta
pengarang bukan terpusat pada peristiwanya sendiri sebagai peristiwa dalam
hidup Lazarus, akan tetapi pada nilainya sebagai lambang untuk kebangkitan
orang Kristen di masa mendatang. Yesus juga mengatakan “semua orang yang di
dalam kuburan akan mendengar suara-Nya” (Yoh 5:28). Itulah tepatnya yang terjadi pada Lazarus dan akan terjadi
pada kita semua.
Menurut padangan Yohanes, iman adalah penyerahan diri
sepenuhnya ke dalam tangan Yesus yang bangkit, dan iman inilah, jika dipenuhi
cinta dan harapan, yang pada akhirnya akan menghasilkan mukjizat seluruhnya
akan kebangkitan. Artinya, jika orang Kristiani percaya akan kebangkitan Yesus
Kristus, maka ia akan dibangkitkan-Nya untuk selama-lamanya, maka dari pada itu
dapat dikatakan bahwa “kita percaya
supaya kita hidup”. Maka, dalam hal ini imanlah yang membawa pada dirinya
benih vitas untuk kebangkitan.
Yesus juga menjadikan daging dan darah ekaristi-Nya
sebagai prinsip hidup lain dan bahkan lebih kuat. Yesus mengatakan “Barangsiapa makan daging-Ku dan minum
darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada
akhir zaman” (Yoh 6:54), artinya
Ekaristi tidak menyampaikan kepada kita hidup Yesus sendiri sekarang ini,
tetapi Ekaristi juga memberikan jaminan bagi kita untuk memiliki sepenihnya
hidup ilahi sesudah kematian. Dalam Ekaristi, Yesus menyerahkan tubun dan
darah-Nya untuk kita, tujuannya supaya kita hidup. Ekaristi juga mencurahkan
kepada orang beriman Kristiani bahwa hidup tidak hanya berkaitan dengan Yesus,
tetapi juga Tritunggal, karena dalam Ekaristi tubuh Yesus yang sudah dimuliakan
menjadi penerima hidup dari Bapa sebelum menjadi penyalur hidup yang sama
kepada manusia “sama seperti Bapa yang
hidup mengutus Aku dan Aku hidup oleh Bapa, demikian juga barangsiapa yang
memakan Aku, akan hidup oleh Aku” (Yoh 6:57). Inilah aliran hidup ilahi
Tritunggal yang lubur dari Bapa, memenuhi Kristus Ekaristi yang sudah bangkit,
dan melalui diri-Nya mengalirlah kedalam orang yang menerima komuni. Artinya
hidup inilah sekaligus Ekaristi dan Tritunggal, yang pada akhirnya akan
mendatangkan mukjizat kebangkitan.
Jadi, akar terdalam kebangkitan manusia adalah Sakramen
Baptis, yang untuk pertama kali menciptakan hubungan yang vital antara Yesus
yang sudah bangkit dengan orang Kristiani, dan Ekaristilah yang membuat hidup
sesudah pembaptisan bertumbuh dan berkembang, dan Ekaristi menjadi jaminan
kemuliaan akhir yang terus menerus diperbaharui. Iman kepada Yesus dan
Ekaristi, percaya kepada Yesus dan makan daging-Nya, itulah kedua pilar yang
menjadi dasar iman Kristiani akan kebangkitan yang tidak dapat tergoyahkan,
Karen dalam ini semua ada misteri kehidupan, yakni hidup yang mengalir dari
Allah kepada manusia melalui dua saluran yakni iman dan Ekaristi. Hal ini
menjadi seperti mata air hidup yang mempu membawa manusia kepada kehidupan
bersama dengan Tritunggal, dalam hidup kekal.
D.
BAGI ORANG
KRISTIANI, KEBANGKITAN KRISTUS MEMBERI HIDUP DAN KESELAMATAN
Bgai orang
Kristiani yang percaya akan kebangkitan Kristus, akan memberikan kehidupan dan
keselamatan kekal kepadanya. Pengarang Injil Yohanes mengatakan “dan Aku memberikan hidup yang kekal kepada
mereka dan mereka pasti tidak akan binasa sampai selama-lamanya dan seorang pun
tidak akan merebut mereka dari tangan-Ku” (Yoh 10:28). Artinya karya
penyelamatan Yesus Kristus pada prinsipnya berorentasi pada masalah hidup yang
kekal. Adapun maksud dari pengertian hidup yang kekal pada prinsipnya dipahami
oleh gereja Tuhan sebagai suatu keselamatan yang telah dianugerahkan Allah
melalui iman kepada Kristus, sehingga umat yang percaya diberi janji dan
jaminan untuk memperoleh hidup yang kekal, yaitu pengampunan dan keselamatan
Allah yang penuh. Makna pengampunan dan keselamatan yang penuh dari Allah
tersebut merupakan keselamatan yang dapat dialami oleh umat percaya pada masa
sekarang maupun terjadi kelak setelah kita meninggalkan dunia ini.
Haruslah kita
yakini bahwa hidup yang kekal yang dianugerahkan Allah di dalam Tuhan Yesus
selain dinyatakan dalam kehidupan kita sehari-hari di masa kini, juga
dinyatakan dalam kehidupan setelah kita meninggal. Dalam Kitab Wahyu 7:14 pengarang
mengatakan “…mereka ini adalah
orang-orang yang keluar dari kesusahan yang besar; dan mereka telah mencuci
jubah mereka dan membuatnya putih di dalam darah Anak Domba. Dalam
kesaksian Kitab Wahyu ini, kita diajak untuk melihat bahwa orang yang percaya
kepada Yesus Kristus mendapatkan kehidupan yang kekal bersama Allah di dalam
kerajaan-Nya, meskipun di dunia ini dalam kenyataanya kita mengalami kematian
atau kesusahan yang mendalam dan sangat mengerikan. Kepercayaan yang secara
penuh dan penyerahan yang total kepada Kuasa Allah yang menyelamatakan dalam
diri Putra-Nya Yesus Kristus akan menjadikan manusia hidup kakal bersama Allah
dalam kerajaan-Nya. Meskipun kematian yang dialami oleh orang Kristiani yang
percaya, seperti cara kematian yang tidak wajar seperti mati karena dianiaya
dan dibunuh, tidak berarti menyebabkan mereka menjadi arwah/hantu yang
penasaran. Tetapi yang ditekankan dalam iman Kristen adalah apakah cara hidup
seseorang tersebut sungguh-sungguh dilandasi oleh sikap iman, khususnya
kesetiaan dan kasih kepada Tuhan Yesus.
Luis M. Bermejo
(2009) dalam bukunya “Makam Kosong” mengatakan bahwa Kristus yang telah mengalami
sensara, mati dan bangkit serta naik ke sorga merupakan Kristus yang ditetapkan
oleh Allah menjadi Tuhan atas seluruh umat manusia. Karya keselamatan Kristus
bukan hanya ditujukan kepada umat Israel dan umat Kristen saja. Tetapi karya
keselamatan Kristus pada hakikatnya ditujukan kepada seluruh umat manusia.
Dalam Wahyu 7:9,
pengaran mengatakan dari hasil penglihatannya “kemudian dari pada itu aku melihat: sesungguhnya, suatu kumpulan besar
orang banyak yang tidak dapat terhitung banyaknya, dari segala bangsa dan suku
dan kaum dan bahasa, berdiri di hadapan takhta dan di hadapan Anak Domba,
memakai jubah putih dan memegang daun-daun palem di tangan mereka” ayat
tersebut mau mengatakan bahwa Kristus yang telah bangkit dan naik ke surge
menjadi hakim atas seluruh umat manusia, keselamatan dan kehidupan kekal
dianugerahkan Allah kepada Yesus Kristus, dan kemualian Yesus Kristus sama
dengan kemualian Allah.
Dengan demikian,
dapatlah kita mengambil sebuah kesimpulan bahwa benarlah upacan Yesus Kristus
yang dikatan oleh pengrang Injil Yohanes “Aku
memberikan hidup yang kekal kepada mereka dan mereka pasti tidak akan binasa
sampai selama-lamanya dan seorang pun tidak akan merebut mereka dari tangan-Ku”
(Yoh 10:28) arti dari ayat ini adalah orang yang percaya kepada Yesus Kristus
akan diberikan kepadanya hidup yang kekal, dengan demikian mereka tidak binasa
untuk selama-lamanya.
Dengan demikian,
apa yang harus orang Kristiani lakukan? Dalam bukunya, I. Suharyo (1993) yang
berjudul “Kitab Wahyu Paham dan Maknanya Bagi Hidup Kristen” terhadap Wahyu 22:6-21
mengajak orang beriman Kristiani untuk selalu berjuang dalam pengharapan. Dalam
hal ini, kita diajak untuk mempu melihat terang di tengah-tengah kegelapan,
membangun harapan di tengah-tengah ketidakpastian, dan melalui hal inilah
Gereja menjadi matang melalui usaha pencarian dan penegasan itu. Dengan
demikian, dapatlah kita katakana bahwa harapan itulah lentera bagi manusia
dalam berjalan di tengah kegelapan dalam hidupnya di dunia ini demi menuju
kepada kehidupan bersama Allah di Surga.
E.
KESIMPULAN
Dari paparan dan penjelasan di atas, masihkah kita
sebagai orang Kristiani menanyakan akankah kita dibangkitkan pada saat mati, atau adakah
kehidupan kekal itu? jika ini terjadi dalam iman
Kristiani, maka orang tersebut tidak layak menyandang gelar orang Kristiani,
dan ia meragukan dogma tentang kebangkitan.
Hal yang harus kita ketahui bahwa, hidup manusia tidak bisa menghindar dari kematian. Bagi orang Kristiani, kematian bukanlah akhir dari
hidup ini, akan tetapi kematian adalah sebuah kepenuhan, kesempurnaan, hidup
bersama Allah di dalam kerajaan-Nya. Hidup manusia memiliki awal dan miliki
akhir, demikian juga akan hal yang kita perbuat bersifat sementara dan fana,
tetapi hal tersebut bukan tampa arti. Dalam hidup di dunia ini, hidup rahmat
yang abadi sudah dimulai, artinya hendaklah kita harus mengunakan waktu kita
dengan sesuatu yang bermakna, karena dalam keadaan itulah kita membentuk sikap yang terarah kepada Tritunggal
Maha Kudus. Hidup di dunia ini adalah sebuah ujian bagi kita untuk membangun sikap percaya kepada Kekuasaan
Allah yang tidak kita ketahui atau kita lihat. Jadi, janganlah ada ketakutan atau kekuatiran dalam diri kita, jika kita percaya kepada Allah maka pada akhirnya kita akan dibangkitkan
pada akhir zaman.
Di dunia inilah kita membangun relasi dan komunikasi yang
intim dengan Allah. Kebagkitan Yesus Kristus dan Ekaristi adalah jaminan bagi
kita untuk hidup bersama dengan Allah dalam kehidupan yang kekal. Harapan
itulah yang menjadi lentera kita untuk mempu sampai kepada kesempurnaan yang
sesungguhnya bersama dengan Allah. Jika Allah mengasihi dan mambangkitkan
Putra-Nya Yesus Kristus, maka Allah juga akan mengasihi dan membangkitkan kita,
karena dalam kehidupan-Nya di dunia, Yesus telah menganggap kita adalah
sahabat-Nya “Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang
diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah
memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku” (Yoh 15:15). Dalam hal ini,
apa yang harus kita lakukan, perkuatkanlah iman kita, dan percaya bahwa Kuasa Allah
besar atas diri kita, dengan kuasa-Nya yang besar juga maka kita akan mampu
mencapai kepenuhan hidup yang sempurna bersama dengan Bapa di dalam
Kerajaan-Nya di Surga.
Jika di dunia ini, kita mendapatkan ketidakadilan, haruslah kita percaya bahwa
Allah itu Adil (bdk. Why 16:5; 15:3; 16:7; 19:2). Dengan keadilan-Nyalah, Allam
menegakkan kembali keseimbangan yang goyah karena pergumulan antara perbuatan
baik dan jahat. Bagi orang Kristiani yang percaya, Allah yang Adil adalah Allah
kita (bdk. Why 12:10; 19:1.6; 21:3) yang menghidupkan dan menyelamatkan. Allah
yang hidup mengatasi tingkat manusiawi kita dan setiap keterbatasan waktu (bdk.
Why 4:9.10; 7:2; 10:6; 15:7).
DAFTAR PUSTAKA
Herntz, Otto. 2005. Pengharapan
Kristen. Yogyakarta: Kanisius.
Schouppe, F.X. 2007. Apa Benar Api
Pencucian Ada?. Yogyakarta: TaboraMedia.
KWI. 1996. Iman Katolik.
Yogyakarta: Kanisius.
Hardawiryana, R. 1993. Dokumen Kosili
Vatikan II. Jakarta: OBOR
Bermenjo, M. Luis. 2009. Makam Kosong
“Misteri dan Makna Kebangkitan Yesus”. Yogyakarta: Kanisius.
Groenen, C. 1973. Kebangkitan.
Ende-Flores: Nusa Indah-Arnoldus
Fuellenbach, John. 2006. Kerajaan Allah “Pesan Inti Ajaran Yesus Bagi
Dunia Modern”. Ende-Flores: Nusa
Indah-Arnoldus.
Suharyo, I. 1993. Kitab Wahyu Paham dan Maknanya Bagi Hidup
Kristen. Yogyakarta: Kanisius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar