MATERI KURSUS PERSIAPAN PERKAWINAN DALAM
GEREJA KATOLIK
Oleh Silvester Nyawai
Mahasiswa STKIP Widya Yuwana Madiun-JATIM
A. Tujuan
Adapun tujuan dari materi perkawinan 5 tahun setelah menikah ini adalah
Supaya keluarga dapat membina hidup bekeluarga yang sejahtra dan damai ddengan berdasarkan dasar dari perkawinan secara Katolik.
Agar keluarga sadar bahwa pernikahan adalah anugerah dari Allah yang menyatakan diri melalui pasangannya.
Sebagai bentuk kematangan dalam mambangun rumah tangga dan pendidikan iman anak-anak.
B. Metode
Ceramah, sharing.
C. Waktu
3-5 jam
D. Media
LCD
E. LANGKAH-LANGKAH
1) PEMBUKAAN
1. DOA PEMBUKAAN
Ya Allah Yang kekal dan kuasa, terima kasih atas segala anugerah yang selalu Engkau berikan kepada kami, sekarang Ya Bapa, berkatilah kami dalam pembinaan dalam kerusus perkawinan ini, semoga kedua pasangan ini yang ingin memperteguhkan cinta kasih mereka dalam nama-Mu ini dapat membina sebuah keluarga yang sejahtara dan beriman yang dewasa kepada-Mu. Amin
2. PENGANTAR
Umat Allah yaitu Gereja bukanlah suatu kenyataan yang statis. Gereja pada dasarnya memuat kenyataan yang penuh dinamika. Dinamika Gereja memperlihatkan, bahwa Gereja terus menerus membaharui dirinya berhadapan dengan bermacam-bemacam kenyataan. Gereja bukanlah pemegang tunggal atas semua prinsip kebenaran. Melainkan salah satu kenyataan dimana orang berusaha mencari kebenaran. Atas dasar keyakinan itu, maka Gereja menampilkan bentuknya yang terbuka terhadap orang-orang lain yang berbeda dengannya. Dengan begitu kiranya menjadi jelas, bahwa identitas Umat Allah, identitas Gereja ditemukan dalam perjumpaan dengan bermacam-macam kenyataan. Tuntutan untuk bersikap terbuka merupakan tuntutan yang mutlak agar Gereja benar-benar tampil ke muka dan memberikan sumbangan untuk kebaikan bersama. Hal itu terjadi kalau Gereja, Umat Allah, hidup berdasarkan tata nilai baik nilai-nilai insani maupun nilai-nilai kristiani.
Bentuk Gereja yang paling kecil adalah keluarga. Karena itu, kita bisa berkata, bahwa keluarga merupakan Gereja mini. Di dalam keluarga sebagai Gereja mini itu, ada suami, ada isteri dan ada anak-anak. Suami, isteri dan anak-anak merupakan persekutuan pribadi-pribadi di dalam keluarga yang disatukan oleh cinta. Sebab persekutuan suami, isteri dan anak-anak di dalam keluarga sebagai Gereja mini merupakan persekutuan yang berdasar pada cinta kasih. Kalau setiap anggota hidup berdasarkan cinta kasih, kita percaya, bahwa keluarga sebagai Gereja mini tidak hanya menjadi sasaran pendampingan pastoral, melainkan terlebih menjadi pelaku pastoral, pelaku dalam pewartaan kabar gembira Injil. Sebab dari dan di dalam keluarga, setiap orang menimba dan belajar bagaimana membangun hidup berdasarkan nilai-nilai. Hidup berdasarkan tata nilai itulah yang kemudian diteruskan dalam kehidupan bersama dengan orang-orang lain.
Hidup bersama dengan orang lain tidak bisa dibangun atas dasar kesenangan dan kecocokan karena kesamaan suku, agama, ras, kedudukan, harga diri, jabatan, uang dan lain-lain melainkan atas dasar nilai-nilai. Rusaknya keadaban publik justeru disebabkan karena orang tidak lagi hidup berdasarkan tata nilai, melainkan mengikuti kecenderungan-kecenderungan yang memberinya kesenangan sesaat. Perselingkuhan terjadi karena orang merasa cocok dengan teman selingkuhnya, tetapi dengan begitu ia mengingkari nilai kesetiaan dalam perkawinan. Seorang siswa lebih senang menyontek supaya mendapat nilai baik daripada belajar dengan tekun. Tindakan seperti itu mematikan nilai kejujuran, kerja keras dan tanggungjawab. Ada orang yang mendapatkan uang dengan merampok dan membunuh. Dengan demikian, ia mencederai nilai cinta dan penghargaan terhadap hidup orang lain. Ada orang yang melakukan tindak kekerasan, hidup dalam kebencian dan serba curiga dengan orang lain. Tindakan jelas melukai nilai toleransi dan hidup bersama. Badan-badan publik cenderung hidup dalam mentalitas korup yang memberinya penumpukan harta dan uang. Karena itu, nilai keadilan diabaikan. Dan masih banyak deretan realita yang menggambarkan, bahwa orang tidak lagi hidup berdasarkan tata nilai melainkan diarahkan oleh kecenderungan-kecenderungan yang bisa memberi kesenangan sesaat. Dalam situasi rusak seperti ini, jangan pernah menaruh harapan bahwa kebaikan bersama akan terwujud.
Situasi yang rusak ini bisa berubah kalau tindakan manusia dikendalikan oleh tata nilai. Kalau orang mesti hidup berdasarkan tata nilai, pertanyaan kita kemudian ialah: bagaimana nilai-nilai itu diajarkan dan dihidupi? Terhadap pertanyaan ini salah satu jawaban yang bisa dikatakan ialah, bahwa nilai-nilai harus bermula dari dan di dalam keluarga. Orang tua mempunyai peran yang penting dan menentukan dalam penerusan nilai-nilai itu. Dalam hal meneruskan nilai-nilai itu dua hal bisa dilakukan yaitu dengan perkataan dan dengan perbuatan. Orang tua bisa mengajarkan anak-anaknya bahwa cinta dan penghargaan terhadap kehidupan orang lain merupakan sesuatu yang mulia dan luhur. Tidak cukup sampai disitu. Orang tua mesti menunjukkan dengan contoh hidupnya bahwa ia mau hidup berdampingan dengan orang lain secara damai. Menolong, jika ada tetangga yang membutuhkan bantuan. Orang tua mengajarkan anak-anaknya bahwa kesetiaan merupakan hal sangat mendasar dalam membangun kebersamaan. Tidak cukup sampai disitu. Orang tua mesti menyatakan kesetiaan itu dengan setia satu sama lain. Ajaran orang tua tentang nilai kesetiaan menjadi tidak bermanfaat kalau pasangan suami-isteri justeru mengakhiri perkawinan dengan berpisah. Orang tua mengajarkan anak-anaknya bahwa hidup sederhana itu baik. Ajaran itu harus disertai sikap sederhana yang ditunjukkan dalam praktek hidup. Memilih jalan kaki kalau jarak yang ditempuh memang dekat merupakan contoh hidup yang sederhana itu. Ajaran mengenai nilai kesederhanaan menjadi tidak banyak berpengaruh bagi anak-anak kalau orang tua justeru memilih naik mobil ketika berkunjung ke rumah tetangga yang sesungguhnya bisa ditempuh dengan berjalan kaki.
Itu berarti, nilai-nilai harus diajarkan dan dihidupi sejak awal di dalam keluarga. Dan orang tua bertanggungjawab dalam mewariskan nilai-nilai itu kepada anak-anaknya. Sebab pendidikan dalam artinya yang menyeluruh merupakan tugas dan tanggungjawab orang tua yang sangat mendasar. Pendidikan dalam artinya yang menyeluruh tidak lain daripada mendidik anak-anak berdasarkan tata nilai. Tugas dan tanggungjawab ini tidak bisa dilimpahkan kepada orang lain. Pendidik dalam artinya yang formal bersifat sebagai pelengkap terhadap apa yang diterima anak-anak di dalam keluarganya. Pendidik formal berusaha menjadikan anak-anak yang pandai dan berbakat. Tetapi, tidak demikian halnya dengan pendidikan yang diterimanya dari keluarga, dari kedua orang tuanya. Orang tua mendidik anak-anaknya agar tidak hanya pandai, melainkan mampu menggunakan kepandaian itu untuk kebaikan dan kesejahteraan sebanyak mungkin orang. Dengan kata lain, orang tua bertugas dan mempunyai tanggungjawab dalam mewariskan nilai-nilai kepada anak-anaknya, baik nilai-nilai insani maupun nilai-nilai injili. Dengan begitu, keluarga sebagai Gereja mini, Umat Allah, hadir dalam perjumpaan dengan bersmacam-macam kenyataan dan memberikan sumbangan bagi kesejahteraan dan kebaikan bersama.
2) PENJELASAN SECARA UMUM
A. HUKUM
Menurut hukum, arti perkawinan bagi manusia adalah perubahan status pria sebagai suami dan wanita sebagai istri. Menurut hukum Kanonika, perkawinan 1983 adalah
1. PERKEMBANGAN PEMAHAMAN
Dalam tahun-tahun setelah Konsili Vatikan II, pemahaman tentang Perkawinan Kristiani mengalami perkembangan yang pesat. Perkawinan yang semula dilihat hanya sebagi kontrak, kini dipandang sebagai perjanjian (covenant, foedus) yang membentuk suatu persekutuan hidup dan cinta yang mesra.
Dalam Kitab Hukum Kanonik 1917 (hukum lama), kan. 1013 dikatakan bahwa tujuan pertama perkawinan adalah mendapat keturunan dan pendidikan anak; sedangkan yang kedua adalah saling menolong sebagai suami dan sebagai obat penyembuh atau penawar nafsu seksual. Namun sekarang, dengan mengikuti ajaran ensiklik Humanae Vitae dari Paus Paulus VI, cinta suami istri dilihat sebagai elemen perkawinan yang esensial. Kodeks baru (KHK 83) dalam Kan 1055, $ 1 berbicara tentang hal itu dalam arti “bonum coniugum” (kebaikan, kesejahteraan suami-istri).
Hak atas tubuh suami-istri dalam kodeks lama merupakan tindakan yang sesuai bagi kelahiran anak. Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes (GS) no. 48 menekankan pemberian atau penyerahan diri seutuhnya (total self donation, total giving of self). Maka, perkawinan tidak dilihat sebagai suatu kesatuan antara dua badan (tubuh), melainkan suatu kesatuan antara dua pribadi (persona).
2. PAHAM DASAR PERKAWINAN
“Dengan perjanjian perkawinan pria dan wanita membentu antara mereka kebersamaan seluruh hidup; dari sifat kodratinya perjanjian itu terarah pada kesejahteraan suami-isteri serta kelahiran dan pendidikan anak; oleh Kristus Tuhan perjanjian perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke martabat Sakramen.” (Kan. 1055 $ 1)
a. Perjanjian Perkawinan Perkawinan itu dari kodratnya adalah suatu perjanjian (covenant, foedus). Dalam tradisi Yahudi, perjanjian berarti suatu “agreement” (persetujuan) yang membentuk (menciptakan) suatu hubungan sedemikian rupa sehingga mempunyai kekuatan mengikat sama seperti hubungan antara orang-orang yang mempunyai hubungan darah. Konsekwensinya, hubungan itu tidak berhenti atau berakhir, sekalipun kesepakatan terhadap perjanjian itu ditarik kembali. Berdasarkan pilihan bebas dari suami-istri, suatu perjanjian sesungguhnya akan meliputi relasi antar pribadi seutuhnya yang terdiri dari hubungan spiritual, emosional dan fisik.
b. Kebersamaan Seluruh Hidup Dari kodratnya perkawinan adalah suatu kebersamaan seluruh hidup (consortium totius vitae. “Consortium”, con = bersama, sors = nasib, jadi kebersamaan senasib. Totius vitae = seumur hidup, hidup seutuhnya). Ini terjadi oleh perjanjian perkawinan. Suami istri berjanji untuk menyatukan hidup mereka secara utuh hingga akhir hayat (bdk. janji Perkawinan).
c. Antara Pria dan Wanita Pria dan wanita diciptakan menurut gambaran Allah dan diperuntukkan satu sama lain, saling membutuhkan, saling melengkapi, saling memperkaya. Menjadi “satu daging” (Kej 2:24).
d. Sifat Kodrati Keterarahan kepada Kesejahteraan Suami-Istri (Bonum Coniugum) Selain tiga “bona” (bonum = kebaikan) perkawinan yang diajarkan St. Agustinus, yakni (a) bonum prolis: kebaikan anak, bahwa perkawinan ditujukan kepada kelahiran dan pendidikan anak, (b) bonum fidei: kebaikan kesetiaan, menunjuk kepada sifat kesetiaan dalam perkawinan, dan (c) bonum sacramenti: kebaikan sakramen, menunjuk pada sifat permanensi perkawinan; Gaudium et Spes no. 48 menambah lagi satu “bonum” yang lain, yakni bonum coniugum (kebaikan, kesejahteraan suami-istri).
e. Sifat Kodrati Keterarahan kepada Anak Perkawinan terbuka terhadap kelahiran anak dan pendidikannya. KHK 1983 tidak lagi mengedepankan prokreasi sebagai tujuan pertama perkawinan yang mencerminkan tradisi berabad-abad sejak Agustinus, melainkan tanpa hirarki tujuan-tujuan menghargai aspek personal perkawinan dan menyebut lebih dahulu kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum)
f. Perkawinan sebagai Sakramen Perkawinan Kristiani bersifat sakramental. Bagi pasangan yang telah dibabtis, ketika mereka saling memberikan konsensus dalam perjanjian, maka perkawinan mereka menjadi sah sekaligus sakramen.
3. SIFAT-SIFAT HAKIKI PERKAWINAN (Kan. 1056)
Kanon 1056 mengatakan: “Sifat-sifat hakiki perkawinan ialah monogam dan tak terputuskan, yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus karena sakramen.” Sifat-sifat hakiki perkawinan, yaitu monogami dan sifat tak terputuskannya ikatan perkawinan, termasuk paham Perkawinan Katolik. Patut diperhatikan bahwa penafsiran serta penerapannya di dalam Gereja Katolik tak jarang berbeda dengan di kalangan non-Katolik. Kedua sifat hakiki ini berkaitan erat sekali, sehingga perkawian kedua tidak sah, meskipun suami-istri perkawinan pertama telah diceraikan secara sipil atau menurut hukum agama lain, karena Gereja Katolik tidak mengakui validitas atau efektivitas perceraian itu. Dengan demikian suami istri yang telah cerai itu di mata Gereja masih terikat perkawinan dan tak dapat menikah lagi dengan sah. Andaikata itu terjadi, maka di mata Gereja terjadi poligami suksesif.
3.1. Monogami
a. Arti Monogami
Monogami berarti perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita. Jadi, merupakan lawan dari poligami atau poliandri. Sebenarnya UU Perkawinan RI No. 1 tahun 1974 juga menganut asas monogami, tetapi asas ini tidak dipegang teguh karena membuka pintu untuk poligami, tetapi tidak untuk poliandri.
b. Implikasi atau konsekuensi Monogami
Sebaiknya dibedakan implikasi / konsekuensi moral dan hukum. Di sini perhatian lebih dipusatkan pada hukum. Dengan berpangkal pada kesamaan hak pria dan wanita yang setara, sehingga poligami dan poliandri disamakan:
(1). Mengesampingkan poligami simultan: dituntut ikatan perkawinan dengan hanya satu jodoh pada waktu yang sama.
(2). Mengesampingkan poligami suksesif, artinya, berturut-turut kawin cerai, sedangkan hanya perkawinan pertama yang dianggap sah, sehingga perkawinan berikutnya tidak sah. Kesimpulan ini hanya dapat ditarik berdasarkan posisi dua sifat perkawinan seperti yang dicanangkan Kan. 1056: monogami eksklusif dan tak terputuskannya ikatan perkawinan. Implikasi dan konsekuensi ini lain - tetapi hal ini termasuk moral - ialah larangan hubungan intim dengan orang ketiga.
c. Dasar Monogami
Dasar monogami dapat dilihat dalam martabat pribadi manusia yang tiada taranya pria dan wanita yang saling menyerahkan dan menerima diri dalam cintakasih total tanpa syarat dan secara eksklusif. Dasar ini menjadi makin jelas bila dibandingkan dengan alasan dalam UU Perkawinan yang memperbolehkan poligami, yakni: bila istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri, cacat badan atau penyakit lain yang tidak dapat disembuhkan, dan bila istri tidak dapat melahirkan keturunan. Dalam pendasaran ini istri diperlakukan menurut sifat-sifat tertentu, dan tidak menurut martabatnya sebagai pribadi manusia. Bdk. Gagasan janji perkawinan: kasih setia dalam suka-duka, untung-malang, sehat-sakit. Tak jarang dilontarkan argumen mendukung poligami yang dianggap lebih sosial menanggapi masalah kekurangan pria, sedangkan penganut monogami tak tanggap terhadap kesulitan wanita mendapatkan jodoh.
3.2. Sifat tak-terputuskannya Ikatan Perkawinan
a. Arti
Ikatan perkawinan berlaku seumur hidup karena perkawinan berarti penyerahan diri secara total tanpa syarat, juga tanpa pembatasan waktu di dunia fana ini.
b. Implikasi
Memang kesesatan saja tentang sifat-sifat hakiki perkawinan tidak otomatis membuat perkawinan menjadi tidak sah, tetapi sifat-sifat hakiki ini juga menjadi obyek konsensus perkawinan (Kan. 1099). Barangsiapa menjanjikan kesetiaan tetapi tidak menghendaki perkawinan seumur hidup melakukan simulasi parsial yang membuat perkawinan itu menjadi tidak sah. Barangsiapa bercerai, tidak memenuhi janjinya untuk menikah seumur hidup, dan bila ia menikah lagi, maka perkawinan itu tidak sah, karena masih terikat pada perkawinan sebelumnya. Itulah salah satu kesulitan umat Katolik di Indonesia, di mana 60 % perkawinan setiap tahun diceraikan.
c. Dasar
• Dalam Kitab Suci : misalnya Mrk 10:2-12; Mat 5: 31-32; 19:2-12; Luk 16:18
• Ajaran Gereja : Konsili Trente (DS 1807); Konsili Vatikan II (GS 48), Familiaris Consortio 20; Katekismus Gereja Katolik 1644-1645
• Penalaran akal sehat memang dapat mengajukan aneka argumen untuk mendukung sifat tak terputusnya perkawinan, misalnya martabat pribadi manusia yang patut dicintai tanpa reserve, kesejahteraan suami istri, terutama istri dan anak-anak, terutama yang masih kecil. Tetapi argumen-argumen ini tak dapat membuktikan secara mutlak, artinya tanpa kekecualian.
d. Tingkat kekukuhan
Perkawinan Katolik bersifat permanen dan tak terceraikan, baik secara intrinsik (oleh suami istri sendiri) maupun ekstrinsik (oleh pihak luar). Dalam hal perkawinan antara orang-orang yang telah dibaptis, perkawinan itu memperoleh kekukuhan atas dasar sakramen. Meski demikian, hukum masih mengakui adanya tingkat-tingkat kekukuhan dalam perkawinan sesuai macam perkawinan itu sendiri.
(1) Perkawinan putativum (putatif): perkawinan tak sah yang diteguhkan dengan itikad baik sekurang-kurangnya oleh satu pihak (Kan 1061, $ 1). Secara hukum perkawinan ini tidak mempunyai sifat kekukuhan dan ketakterceraian sama sekali.
(2) Perkawinan legitimum antara dua orang non-baptis. Perkawinan ini sah, tapi tak sakramental, yang sekaligus mempunyai sifat kekukuhan, namun bisa diceraikan dengan Previlegium Paulinum *karena suatu alasan yang berat.
(3) Perkawinan legitimum antar seorang baptis dan seorang non-baptis. Perkawinan ini pun sah, tapi tak sakramental karena salah satu pasangan belum atau tidak dibaptis. Perkawinan inipun dapat dibubarkan karena suatu alasan yang berat dengan Previlegium Petrinum (Previlegi Iman)**, walaupun telah memperoleh ciri kekukuhan dalam dirinya.
(4) Perkawinan ratum (et non consumatum): perkawinan sah dan sakramental, tapi belum disempurnakan dengan persetubuhan (Kan 1061, $1). Tingkat kekukuhan perkawinan ini sudah masuk kategori khusus atas dasar sakramen, namun karena suatu alasan yang sangat berat, masih dapat diputus oleh Paus.
(5) Perkawinan ratum et consumatum: perkawinan sah, sakramental, dan telah disempurnakan dengan persetubuhan. Perkawinan ini pun mempunyai kekukuhan khusus atas dasar sakramen, tapi lebih dari itu bersifat sama sekali tak terceraikan, krn sudah disempurnakan dengan persetubuhan.
4. KONSENSUS PERKAWINAN (Kan 1057)
Konsensus atau kesepakatan perkawinan adalah perbuatan kemauan dengan mana suami istri saling menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali. Itu berarti hanya konsensus yang “menciptakan” atau membuat suatu perkawinan menjadi ada (matrimonium in fieri, terjadinya perkawinan pada saat mempelai menyatakan konsensus)
Pada saat mempelai saling memberikan konsensus dalam perjanjian perkawinan, saat itu dimulai hidup perkawinan atau hidup berkeluarga yang akan berlaku dan berlangsung sepanjang hidup (matrimonium in facto esse, hidup berkeluarga).
Para pihak harus cakap hukum atau mempu menurut hukum untuk membuat konsensus perkawinan (Kan 1057 $ 1), artinya mereka tidak terkena suatu cacat psikologis apapun yang dapat meniadakan konsensus perkawinan (Kan 1095). Konsensus harus dinyatakan secara legitim, artinya harus dinyatakan oleh kedua pihak satu terhadap yang lain, menurut norma hukum yang berlaku, misalnya dengan keharusan mentaati forma canonica atau suatu bentuk tata peneguhan publik lainnya yang diakui. Konsensus tak dapat diganti oleh kuasa manusiawi manapun; artinya tak ada kuasa apapun atau siapapun yang dapat dengan sewenang-wenang dan melawan hukum membuat konsensus bagi orang lain.
B. MORAL
Pandangan Yohanes Paulus II justru memberikan harapan di tengah kegundahan dan perintis manusia terhadap hidup. Bagi Yohanes Paulus II, -dan ini selaras dengan ajaran Injil,- hidup manusia bukan saja dalam tatanan fisik duniawi tetapi juga berkaitan dengan hidup kekal yang disediakan Allah bagi mereka yang percaya kepada Yesus. Makna terdalam mengenai hidup manusiawi dalam kaitan dengan hidup kekal diangkat oleh rasul Yohanes dalam pembukaan suratnya yang pertama, “Apa yang telah ada sejak semula, yang telah kami dengar, yang telah kami lihat dengan mata kami, yang telah kami saksikan dan yang telah kami raba dengan tangan kami tentang Firman hidup -- itulah yang kami tuliskan kepada kamu. Hidup itu telah dinyatakan, dan kami telah melihatnya dan sekarang kami bersaksi dan memberitakan kepada kamu tentang hidup kekal, yang ada bersama-sama dengan Bapa dan yang telah dinyatakan kepada kami. Apa yang telah kami lihat dan yang telah kami dengar itu, kami beritakan kepada kamu juga, supaya kamu pun beroleh persekutuan dengan kami. Dan persekutuan kami adalah persekutuan dengan Bapa dan dengan Anak-Nya, Yesus Kristus.” (1Yoh.1:1-3) Jadi dalam Injil, hidup kekal Allah diwartakan dan dianugerahkan. “Berkat pewartaan dan anugerah ini, hidup fisik dan rohani kita, juga pada tahapnya di dunia, beroleh nilai dan makna sepenuhnya, sebab hidup kekal Allah de facto merupakan tujuan panggilan kita di dunia ini.” (Evangelium Vitae/EV1 / Di sini menjadi teramat luhurlah pandangan kristiani tentang hidup. Martabat hidup itu bukan hanya berkaitan dengan awal mulanya di dunia ini, yakni dengan kenyataan datangnya dari Allah, melainkan juga dengan tujuannya, yaitu berupa persekutuan dengan Allah dalam pengenalan dan cintakasih akan Dia. Konsekuensinya adalah hidup kekal itu sudah tumbuh dan mulai berkembang sejak manusia hidup di dunia ini. Hidup manusia itu selalu sesuatu yang baik! Mengapa? Karena hidup itu berbeda jauh dengan hidup mahluk hidup lainnya, kendati ia dibentuk dari debu tanah. (Kej. 1: 26-27) Hidup manusia menampilkan Allah di dunia, menandakan kehadiran-Nya dan mencerminkan kemuliaan-Nya. Manusia dikaruniai martabat yang amat luhur (EV 34). Hidup manusia berasal dari Allah. Oleh karena itu, manusia tidak dapat memperlakukannya dengan sesuka hatinya. Hidup itu memiliki tujuan pada keilahian, yaitu bersatu dengan Allah dalam hidup kekal. Hidup itu amat suci dan keramat sebab Allah menciptakan manusia menurut citra-Nya. (Kej. 1: 26) Oleh sebab itu, hidup dan mati manusia berada dalam kuasa Tuhan, seperti dikatakan dalam kitab Ulangan, “Akulah yang mendatangkan baik maut maupun hidup.” (Ul. 32: 39) Kekudusan hidup menjadi dasar bagi sifat yang tidak dapat diganggu gugatnya hidup manusia, yang sejak semula tertera di dalam hati manusia, dalam suara hatinya. Pertanyaan, “Apakah yang telah engkau perbuat?” (Kej. 4: 10) yang oleh Allah ditujukan kepada Kain sesudah ia membunuh adiknya Habel, menafsirkan pengalaman tiap orang di lubuk suara hatinya. Manusia selalu diingatkan bahwa hidup tidak dapat diganggu gugat – hidupnya sendiri dan hidup sesama – sebagai sesuatu yang bukan miliknya, sebab menjadi milik dan karunia Allah Sang Pencipta kehidupan. (EV 40)
C. KELUARGA BERENCANA
Alkitab (secara khusus kitab Kejadian) dengan tegas dan lugas mendeskripsikan eksistensi manusia. Pendeskripsian ini dimulai dari proses penciptaan hingga pada pengingkaran manusia kepada Allah (dosa). Dalam proses penciptaan dinyatakan bahwa manusia adalah ciptaan Allah yang istimewa. Keistimewaan ini terletak pada penciptaan manusia yang diciptakan segambar dan serupa dengan Allah (Imago Dei) dan juga diciptakan dengan sikap proaktif Allah. Keistimewaan manusia ini pada akhirnya menimbulkan suatu tanggungjawab manusia kepada Allah. Pertanggungjawaban manusia kepada Allah nyata dalam mandat Allah kepada manusia untuk menaklukkan dan menguasai segenap ciptaan. Dengan kata lain, keutuhan dan bahkan kesejahteraan seluruh ciptaan adalah tanggungjawab manusia. Manusia harus senantiasa proaktif untuk mewujudkan dunia yang diwarnai dengan keteraturan, kedamaian dan kesejahteraan sebagai konsekwensi keistimewaan itu.
Pertanggungjawaban manusia sebagai ciptaan yang unik dan istimewa berpusat kepada Allah. Dan yang menarik dalam hal ini adalah, kekuatan dan kesanggupan manusia dalam pelaksanaan tanggungjawab tersebut juga tergantung kepada Allah sebagai pemberi tanggungjawab. Dengan demikian perlu ada komunikasi dan koordinasi yang kontiniu antara manusia dengan Allah dalam perwujudan dunia yang diwarnai keteraturan, kedamaian dan kesejahteraan itu. Manusia akan mampu menata dunia dan seluruh ciptaan sesuai dengan kehendak Allah apabila dalam diri manusia tersebut terkandung dimensi ketaatan kepada Allah. Inilah yang menjadi faktor penentu kesuksesan manusia dalam pelaksanaan tanggungjawabnya sebagai ciptaan yang istimewa di hadapan Allah.
Dalam pembentukan keluarga Kristen, kesadaran akan tanggungjawab manusia sebagai perpanjangan tangan Allah dalam pembentukan tatanan dunia yang teratur, damai dan sejahtera menjadi variabel yang sangat menentukan. Bahkan itulah yang seharusnya menjadi titik berangkat pembentukan kelauarga Kristen. Setiap keluarga Kristen dibangun dari pribadi yang bertanggungjawab kepada Allah sebagai alat pembentukan tatanan dunia (keluarga) yang teratur, damai dan sejahtera. Kesadaran yang demikian akan membentuk anggota keluarga yang juga bertanggungjawab terhadap anggota keluarga lainnya sebagai bagian dari dunia ciptaan Allah. Anggota keluarga yang memberi apresiasi terhadap pemahaman yang demikian niscaya akan memandang setiap anggota keluarga sebagai pribadi yang harus dihormati dan dibahagiakan. Dan itu dinyatakan atas kesadaran dan tanggungjawabnya sebagai ciptaan Allah yang istimewa.
Keluarga Kristen adalah bagian integral dari keluarga-keluarga dalam masyarakat yang plural. Dalam hal ini tentunya keluarga Kristen juga memiliki hak dan tanggungjawab dalam pembangunan masyarakat yang madani, adil dan sejahtera. Tentunya hal ini harus senantiasa di bangun atas dasar kesadaran dan apresiasinya akan eksistensinya sebagai ciptaan Allah yang istimewa. Ada tanggungjawab dalam setiap keluarga Kristen untuk memberi kontribusi positif dalam pembentukan masyarakat yang teratur, damai dan sejahtera.
Paling tidak ada dua hal yang harus diperlihatikan setiap keluarga Kristen dalam penyataan kontribusi positifnya dalam pembentukan tatanan masyarakat yang teratur, damai dan sejahtera. Pertama: Setiap keluarga Kristen harus senantiasa sadar akan keistimewaannya sebagai ciptaan, yang pada akhirnya membawanya pada sikap yang sadar bahwa ia bertanggungjawab atas keteraturan, kedamaian dan kesejahteraan masyarakat dimana ia berada. Kesadaran ini diimplementasikan dalam kepeduliaan terhadap sesama dan lingkungan. Ada peran yang senantiasa diperlihatkan keluarga Kristen dalam masyarakat dimana ia berada. Jadi tanggungjawab tersebut tidaklah bersifat abstrak. Kedua: Kesadaran akan hal di atas kemudian dinyatakan terlebih dahulu secara internal melalui pola hidup pribadi dan keluarga yang layak untuk diteladani oleh orang lain. Teladan yang dimaksud di sini tentunya berpusat pada firman Allah yang senantiasa dijadikan sebagai orientasi hidup. Artinya, keteladanan itu adalah buah dari kedekatan dan ketaatannya kepada firman Allah. Dari kedua hal di atas kita melihat bahwa setiap keluarga Kristen harus peka dan peduli pada realitas masyarakat dan ia harus mampu menjadi teladan positif dalam masyarakat. Dan itu diekspresikan pertama-tama dari pribadi, kemudian keluarga sebagai buah kedekatan dan ketaatannya kepada Allah.
Keluarga Kristen dalam masyarakat dewasa ini diperhadapkan dengan multi pergumulan. Dalam ranah sosial, realitas yang ada adalah kemiskinan dan kelaparan; Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) sebagai bias budaya patriakhat; tingginya angka kematian ibu dan anak sebagai buah dari rendahnya kesadaran akan pola hidup sehat dalam masyarakat; pemanasan global (global warming); tingginya angka kriminalitas anak dan remaja; meningkatnya angka perceraian dan keluarga yang tidak harmonis; dan ragam masalah sosial sebagai bias dari kemajuan teknologi dan informasi yang merusak moral, spiritual dan tatanan masyarakat. Dan dalam ranah kepercayaan/ iman, realitas yang terbentang juga tak kalah ragamnya. Maraknya model dan corak kepercayaan yang berkembang tidak jarang membuat keluarga dan masyarakat kehilangan iman, terjebak pada pola keberimanan yang cenderung pragmatis, semu dan ekstrim. Dinginnya minat dan kontribusi anggota keluarga dalam pelayanan, dll. Inilah ragam tantangan yang harus dijawab setiap keluarga Kristen di tengah-tengah masyarakat dewasa ini.
Keluarga Kristen yang adalah ciptaan yang istimewa dan bertanggungjawab sudah selayaknya kita menunjukkan sikap yang proaktif menanggapi semua realitas tersebut. Bukanlah sikap yang bertanggungjawab jika dalam realitas yang ada kita masih berpangku tangan, duduk diam menjadi penonton yang budiman. Sekaranglah saatnya setiap keluarga Kristen menampilkan dirinya sebagai sosok teladan yang senantiasa peduli dan bereaksi serta memberi kontribusi positif untuk menanggapi segala persoalan yang ada. Keluarga Kristen diharapkan mampu mempromosikan nilai-nilai positif ditengah-tengah masyarakat. Hal ini tentunya dimulai dari pribadi dan keluarga yang layak untuk diteladani.
Keluarga Kristen yang bertanggungjawab dan mampu menjadi teladan ditengah masyarakat tidaklah terbentuk dengan sendirinya. Perlu ada pembinaan dan pengarahan menuju hal itu. Disinilah diharapkan peranan gereja sebagai faktor pembentuk pribadi dan keluarga yang bertanggungjawab. Gereja diharapkan mampu menjadi motor penggerak kesadaran setiap orang dan keluarga Kristen untuk mampu menjadi pribadi yang bertanggungjawab sebagai alat pembentukan masyarakat yang teratur, damai dan sejahtera. Keluarga adalah fondasi gereja dan gereja adalah wahana pembentuk, pendidik dan pembina warganya untuk menjadi Kristen sejati. Dalam keluarga dan gerejalah pribadi Kristen dibentuk, dididik dan dibina untuk menjadi pribadi yang bertanggungjawab sesuai kehendak Allah.
Allah menetapkan keluarga sebagai wadah untuk menyatakan rencana-Nya bagi dunia. Allah sebagai pembentuk keluarga memiliki misi agar keluarga menjadi komunitas yang memancarkan rencana dan kasih-Nya bagi dunia. Dalam tujuan ini Allah membentuk keluarga serta mengikatnya oleh persekutuan yang berbasis iman dan tentunya memiliki kasih dalam setiap relasi yang dibangun.
Keluarga juga merupakan bagian dari gereja. Keluarga sering disebut sebagai “gereja kecil” (ecclesiola) atau gereja rumah tangga (ecclesia domestica) yang dalam istilah Simalungun disebut “kuria na etek-etek”. Dalam pemahaman ini ada sebuah benang merah antara keluarga dan gereja. Dari keluarga akan terpancar realitas gereja yang sebenarnya. Ketika keluarga hidup dalam suasana yang harmonis dan sejahtera maka akan terbentuk tatanan gereja yang juga harmonis dan sejahtera. Demikian sebaliknya, ketika keluarga hidup dalam suasana yang amburadul maka akan terbentuk tatanan gereja yang juga amburadul. Yang menjadi persoalan adalah, bagaiman jika keluarga sebagai pembentuk gereja belum sampai pada tatanan hidup yang harmonis dan sejahtera itu mengingat banyaknya pergumulan global yang dihadapi keluarga dewasa ini? Disinilah peranan gereja dinyatakan dengan sebenarnya. Gereja sebagai wahana pembentuk, pendidik dan pembina warganya harus mampu memperlihatkan perananya dengan lebih efektif lagi. Gereja diharapkan mampu menjadi motor perubahan bagi warganya, menjadi wahana pembebas bagi segenap warga secara holistik. Gereja diharapkan menjadi media pengharapan, menjadi perubah paradaigma berpikir, menjadi motivator kehidupan dan apabila memungkinkan juga menjadi pendongkrak keberhasilan ekonomi keluarga. Dengan kata lain, gereja diharapkan menjadi penatalayan keluarga (family’s steward) menuju keluarga harmonis dan sejahtera. Menjadi penatalayan yang menyentuh ranah materi, rohani dan jasmani. Sentuhan ini tentunya diharapkan mampu membuka peluang bagi keluarga untuk memberi diri ke gereja, ber-gereja dan meng-gereja.
Satu hal yang menarik melihat landasan periode pelayanan GKPS 2005-2010 memakai tema: “YESUS ADALAH JALAN, KEBENARAN DAN HIDUP” (Yoh.. 14:6). Penulis melihat ini adalah bentuk kuatnya komitmen GKPS untuk mengetengahkan bahwa jalan, kebenaran dan kehidupan yang sejati hanya ada dalam Yesus Kristus. Ini adalah pengakuan mutlak yang tidak dapat dikompromikan! Komitmen inilah yang menjadi dasar dan pancaran sikap warga GKPS dalam setiap dimensi kehidupannya, secara khusus dalam kehidupan berkeluarga. Artinya, melalui komitmen ini diharapkan setiap warga GKPS dapat berjalan di jalan Yesus, bertindak berisikan kebenaran Kristus dan memiliki hidup sejati yang tentunya bersumber dari Yesus.
Komitmen bahwa Yesus adalah jalan, kebenaran dan hidup ini kemudian diejawantahkan melalui sub tema yang berbunyi: “DALAM SEGALA HAL HENDAKNYA SETIAP RUMAH TANGGA HIDUP DALAM FIRMAN TUHAN”. Sangat menarik, bahwa GKPS mempertegas kembali komitmennya dan menyentuh ranah keluarga sebagai bagian integral gereja. Dari uraian sub tema ini penulis melihat suatu himbauan yang sangat tegas agar dalam setiap dimensi kehidupannya keluarga GKPS (ayah, ibu dan anak) senantiasa memekai Firman Tuhan sebagai motor penggerak kehidupan. Himbauan yang tegas dan lugas ini menyuarakan agar Firman itu tentunya juga harus bertumbuh, berbuah dan berakar dalam setiap pribadi di keluarga. Yang pada akhirnya akan termanifestasi dalam sikap hidup yang bertanggungjawab dan mampu jadi teladan.
Berdasarkan komitmen yang terejawantah dalam tema dan sub tema GKPS ini maka setiap keluarga hendaknya memakai momentum tahun keluarga ini sebagai tahun transformasi menuju keluarga yang bertanggungjawab berdasarkan firman Allah. Bertrasformasi dalam kwalitas dan kwantitas kehidupan dan pelayanan. Setiap elemen keluarga diharapkan mencermati momentum ini untuk berefleksi dan beraksi dalam pemaknaan peran dan tanggungjawabnya di tengah-tengah keluarga, gereja dan masyarakat. Mengubah apa yang perlu diubah, meningkatkan apa yang baik untuk ditingkatkan dan memerankan apa yang seharusnya menjadi perannya. Dengan momentum ini diharapkan setiap elemen keluarga mampu menjadi pribadi yang missioner dan meningkatkan kapasitas dan kwalitasnya sebagai Kristen sejati seturut Firman Tuhan. Dan biarlah melalui tahun keluarga GKPS 2009 ini setiap pribadi dan keluarga memancarkan terang Kristus dan menjadi alat Allah untuk menciptakan tatanan dunia yang teratur, damai dan sejahtera demi kemuliaan Tuhan.
D. PSIKOLOGIS
“Apa ari kata suami-istri bagi Anda?”
Secara hukum, dinyatakan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1/1974, bab I, pasal 1 bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dari sisi gereja Katolik, “Perkawinan adalah persekutuan hidup dan kasih suami-istri yang mesra yang diadakan oleh Sang Pencipta dan dikukuhkan dengan hukum-hukumNya, dibangun oleh perjanjian perkawinan atau persetujuan pribadi yang tak dapat ditarik kembali. Ikatan suci demi kesejahteraan suami-istri dan anak maupun masyarakat itu tidak tergantung pada kemauan manusia semata-mata. Allah sendirilah Pencipta perkawinan, yang mencakup pelbagai nilai dan tujuan” (dikutip dari Kasih Setia dalam Suka-Duka,
Pedoman Perkawinan di Lingkungan Katolik, 1993). Pembahasan tentang kehidupan perkawinan akan saya mulai dengan pembahasan tentang kehidupan dewasa muda sebagai masa kehidupan yang sedang dijalani oleh kebanyakan calon pasangan suami-istri. Masa dewasa muda adalah masa bagi kehidupan seseorang yang berusia antara 20 – 40 tahun. Pada masa ini, keadaan fisik berada pada kondisi puncak dan kemudian menurun secara perlahan.
Dalam sisi perkembangan psikososial, terjadi proses pemantapan kepribadian dan gaya hidup serta merupakan saat membuat keputusan tentang hubungan yang intim. Pada saat ini, kebanyakan orang menikah dan menjadi orang tua (Papalia, Olds, & Feldman, 2001; Santrok, 2002). Bagi kebanyakan orang, tentu saja termasuk anda, perkawinan adalah suatu yang sangat diharapkan dan sangat dipersiapkan. Oleh karena itu, tidak jarang orang mencari berbagai informasi mengenai perkawinan: dengan bertanya pada orang tua atau teman, membaca buku, atau dibekali dengan berbagai informasi tentang perkawinan melalui kursus semacam ini. Kadang yang tidak kalah penting bagi calon pasangan suami-istri adalah juga bagaimana pesta pernikahan akan diselenggarakan, pakaian apa yang akan dikenakan, dan kemana akan berbulan madu.
Namun, yang paling penting dari semua persiapan perkawinan adalah persiapan mental dari calon pasangan itu sendiri. Persiapan mental ini dimulai dari hal yang paling sederhana, yaitu mengenal dan memahami pasangan serta memahami arti pernikahan bagi diri sendiri. Dalam tahap persiapan pernikahan, membina hubungan sosial yang romantis dan harmonis merupakan hal yang penting dan perlu dijalani. Pasangan yang mantap untuk membina rumah tangga dan memasuki kehidupan perkawinan adalah pasangan yang telah mengenal pasangannya masing-masing, memiliki kesamaan minat dan tujuan hidup, saling terbuka, saling percaya, saling menghormati, dan saling memahami. Hal ini tidak berarti pasangan memerlukan waktu pacaran yang lama untuk saling mengenal dan memahami. Yang terpenting adalah bagaimana calon pasangan mampu untuk selalu berusaha saling mengenal dan mendalami pasangan masing-masing, tanpa harus memaksakan kehendak pribadi kepada pasangannya, dan dapat menerima pasangan kita apa adanya. Ketika pasangan memasuki kehidupan perkawinan, tidak berarti proses mengenal dan memahami berhenti. Kadang, masa awal perkawinan merupakan masa penyesuaian diri yang menyulitkan bagi pasangan suami-istri baru karena seringkali banyak terjadi hal yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Ketika pacaran dulu, mungkin calon istri tidak mengetahui bahwa calon suaminya tidak suka tidur dengan lampu menyala, padahal si calon istri terbiasa tidur dengan lampu yang terang karena si istri agak penakut. Hal ini bukan tidak mungkin akan sedikit memancing keributan di awal tidur bersama.
Hal penting berikutnya adalah: Cinta. Mengapa saya menempatkan cinta setelah mengenal pasangan? Memang mungkin saja ada cinta pada pandangan pertama. Namun, apakah cinta itu akan terus ada setelah pasangan saling mengenal lebih jauh? Seringkali, ketika hubungan perkenalan berlanjut menjadi hubungan romantis, pasangan mulai berpikir apakah betul mereka saling mencintai, atau hanya karena tertarik secara fisik, atau karena ‘nyambung’ ketika diajak ngobrol, atau karena merasa menemukan kakak atau adik. Banyak pasangan yang kemudian menyadari bahwa pasangannya adalah pasangan yang tepat untuk menjadi teman bicara, tetapi bukan ‘teman hidup’-nya. Cinta merupakan kekuatan yang mampu menarik dua orang dalam satu ikatan yang tidak terpisahkan, yang dinamakan perkawinan. Dengan kata lain, perkawinan akan kuat ketika dilandasi oleh cinta. Hatfield (dalam Lubis, 2002) menyatakan bahwa ada dua macam cinta diantara pasangan dalam perkawinan, yaitu passionate love dan companiate love. Cinta yang pertama berisikan reaksi emosional yang dalam kepada pasangan, sedangkan cinta yang kedua adalah kasih sayang yang dirasakan pasangan kepada orang yang dicintainya. Cinta yang pertama penuh gelora dan gairah, sedangkan cinta yang kedua melibatkan rasa percaya, sayang, dan toleransi pada segala kekurangan pasangan.
Pada masa pacaran dan di awal perkawinan, biasanya yang dominan adalah passionate love yang menggebu-gebu dan diwarnai oleh sikap posesif terhadap pasangan, sedangkan companiate love berkembang secara perlahan-lahan dan ada pada perkawinan yang bahagia dimana masing-masing pihak merasa pasangannya adalah teman yang sangat dibutuhkan keberadaannya, baik secara fisik maupun secara psikologis, untuk saling mengisi dalam kehidupan bersama. Uraian di atas menunjukkan bahwa cinta merupakan hal yang tidak hanya muncul dalam masa pacaran dan awal pernikahan, tetapi cinta justru akan berkembang menjadi kasih sayang dalam perjalanan waktu kehidupan perkawinan. Perkawinan akan semakin mantap, bahagia, dan langgeng ketika pasangan saling mengasihi dan saling menghargai. Cinta dan kasihnya yang akan mempererat anda berdua.
Lalu bagaimana wujud cinta kasih dalam kehidupan perkawinan? Dalam I Korintus 13:4-5 dengan dikatakan bahwa kasih itu sabar, kasih itu murah hati, ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Karena itulah, cinta kasih harus diwujudkan dalam tingkah laku sehari-hari. Bentuk cinta kasih yang paling sederhana adalah memberikan ucapan terima kasih dan menyatakan permohonan maaf kepada pasangan. Terima kasih atas perhatian dan kasih sayang yang diberikan serta mohon maaf atas kesalahan yang dilakukan terhadapnya.
Perkawinan juga merupakan ikatan antara pria dan wanita dalam susah dan senang. Pasangan suami-istri yang saling mengasihi tidak hanya merasakan kebersamaan pada saat gembira, tetapi juga ketika berada dalam kesulitan, kesedihan, dan kesakitan. Pasangan yang baik adalah pendamping yang setia, yang bersedia menjadi tempat bersandar ketika duka dan menjadi tempat berteduh ketika hujan dan badai. Penelitian yang dilakukan oleh Waite dan Gallagher di Amerika menemukan bahwa memiliki suami atau istri menurunkan resiko tingkat kematian pasien akibat penyakit sampai setara sepuluh tahun lebih muda. Selain itu, mereka juga menyatakan bahwa orang yang menikah memiliki tingkat kesehatan mental yang lebih baik daripada mereka yang lajang.
Hidup perkawinan bukanlah jalan yang selalu lurus dan rata, tetapi seringkali merupakan jalan yang berliku serta penuh onak dan berduri. Namun, perjalanan perkawinan tetap akan menyenangkan dan menggairahkan jika pasangan tidak banyak mengeluh, keras kepala, defensif, dan menarik diri dari pasangan. Setiap pasangan suami-istri memiliki salib hidup mereka masing-masing. Salib berat yang harus dipanggul ini akan terasa ringan jika pasangan saling menerima, saling percaya, saling membantu, serta saling menguatkan. Ketika pasangan dan keluarga berada dalam situasi apapun, janganlah meninggalkan Tuhan karena
Tuhan adalah sumber gembira kita dan Tuhan jugalah yang menjadi sandaran dan kekuatan hidup kita. Pasangan suami-istri yang sejati adalah pasangan yang saling terbuka. Ini berarti, hal penting yang harus selalu ada dalam kehidupan perkawinan adalah komunikasi di antara suami dan istri. Kebanyakan konflik yang muncul pada pasangan suami-istri yang dapat berakhir pada perceraian adalah karena masalah komunikasi. Pada masa berpacaran, biasanya pasangan memiliki khusus khusus untuk selalu berduaan, saling berbagi cerita gembira maupun sedih, serta saling memperbaiki kesalahan. Namun hal yang sama seringkali tidak terjadi ketika pasangan sudah menikah dan memiliki anak. Dengan berjalannya waktu, seringkali kehidupan perkawinan menjadi kehidupan yang rutin dan suami atau istri merasa bahwa seharusnya pasangannya sudah tahu apa yang diinginkan oleh pasangannya. Hal ini tidaklah benar. Pasangan tetap perlu membina komunikasi yang lancar dan saling terbuka, saling berbagi cerita, saling menyatakan keinginan secara terbuka, saling asertif, saling mengoreksi kesalahan pasangan, dan bersedia menerima kesalahan tanpa berdebat dan merasa sakit hati. Dengan adanya komunikasi yang lancar, pasangan akan lebih mudah untuk mengatasi masalah serta mengambil keputusan bersama.
Usahakanlah untuk membuka dan menjalin komunikasi dengan menciptakan suasana seperti ketika berpacaran. Pergilah ke tempat romantis yang dulu sering dikunjungi ketika berpacaran, kenakankan model dan warna pakaian yang disukai pasangan, pasanglah musik atau lagu kenangan anda berdua, dan bisikanlah kata sayang yang dulu sering diucapkan kala berduaan. Kadang kegiatan ini tidak mungkin dilakukan ketika pasangan sudah menikah dengan alasan sibuk bekerja atau sibuk mengurus anak. Tetapi hal ini merupakan kegiatan yang perlu dan harus dilakukan agar komunikasi dan hubungan romantis dapat terus terbina diantara suami dan istri.
Hal terakhir yang juga perlu diingat oleh pasangan suami-istri adalah bahwa perkawinan bukan sekedar persatuan dua orang, melainkan persatuan dua keluarga yang membentuk satu ikatan keluarga baru. Satu orang dengan orang lain saja bisa memiliki perbedaan yang besar, apalagi dua keluarga yang masing-masing pasti memiliki kebiasaan dan aturan keluarga tersendiri. Oleh karena itu, hal penting yang perlu dipersiapkan dan perlu diingat oleh setiap pasangan suami-istri adalah juga berusaha mengenal keluarga besar pasangannya. Jangan sampai keluarga suami atau istri anda marah kepada anda dan mertua anda gara-gara anda tidak mengenal dirinya. Saat ini banyak pasangan yang tidak ingin tinggal bersama atau tinggal dekat dengan mertua dan ipar bahkan mungkin mengharapkan tidak mempunyai mertua dan ipar dengan berbagai alasannya. Hal itu boleh saja, tetapi satu hal yang pasti: ketika seseorang menikah dengan orang lain, maka orang tua pasangannya akan menjadi orang tuanya juga, adik dan kakak pasangannya akan menjadi adik dan kakaknya juga; dan sebaliknya ketika seseorang menjadi menantu orang lain, maka orang itu menjadi anak dari orang tua serta adik dan kakak dari keluarga pasangannya. Ini berarti, sebaiknya terbentuk hubungan yang harmonis antara pasangan suami-istri dengan orang tua dan keluarga pasangannya. Kadang hal ini memang tidak mudah. Tetapi mulailah berpikir dan mengingat bahwa suatu hari nanti anda juga akan menjadi mertua. Jadi, jangan siasiakan mertua anda agar anda juga tidak disia-siakan oleh menantu anda.
E. LITURGIS
Dalam perayaan Sakramen Perkawinan yang dilakukan dalam misa kudus, kedua mempelai memeteraikan-nya sebagai penyerahan diri timbal balik, dengan mempersatukan diri dengan penyerahan Kristus kepada Gereja-Nya, yang dihadirkan dalam kurban Ekaristi[8]. Mereka menerima komuni kudus supaya mereka hanya membentuk satu tubuh di dalam Kristus melalui persatuan dengan tubuh dan darah Kristus yang sama (bdk. 1Kor 10,17). Ada pendapat cukup umum dalam Gereja Latin bahwa para mempelai sendiri sebagai pengantara rahmat Kristus saling memberikan Sakramen Perkawinan, dengan menyatakan kehendaknya untuk mengadakan perkawinan di hadapan Gereja. Dalam epiklese sakramen perkawinan, kedua mempelai menerima Roh Kudus sebagai persatuan cinta antara Kristus dan Gereja (bdk. Ef 5,32). Dialah meterai perjanjian mereka, sumber yang selalu mengalir bagi cinta mereka, kekuatan untuk membarui kesetiaan mereka.
Dalam upacara perkawinan, kedua mempelai saling mengucapkan janji perkawinan. Berdasarkan pengalaman dan kebiasaan Gereja Katolik bahwa perkawinan harus dimulai dan dilangsungkan dengan berkat dari Allah, di hadapan seorang imam atau diakon dan dihadapan dua orang saksi serta dihadiri oleh umat yang lain (dalam perayaan liturgi bersama jemaat yang dihadiri) [9]. Hal ini menjadi penentu sah atau tidaknya sebuah perkawinan, yakni memenuhi syarat materia sacramenti, forma sacramenti dan forma publica.
Menurut Paus Yohanes Paulus II dalam Familiaris Consortio, sakramen perkawinan merupakan sumber istimewa dan upaya yang asli bagi pengudusan suami‑istri maupun keluarga kristen. Peranan menguduskan ini didasarkan pada baptis dan mencapai puncak ungkapannya yang luhur dalam Ekaristi. Sakramen Tobat juga memperoleh makna yang istimewa dalam kehidupan keluarga. Panggilan demi pengudusan juga dihayati melalui hidup doa. Panggilan ini secara amat jelas ditampakkan dalam upacara pemberkatan nikah.
Sejauh merupakan tindakan sakramental pengudusan, perayaan pernikahan yang diintegrasikan dalam liturgi, yakni puncak tindakan Gereja serta sumber daya pengudusannya dalam dirinya (“per se”) sudah harus sah, layak dan subur.
Berdasarkan Kitab Hukum Kanonik kanon 1063, para gembala umat (pastor paroki) wajib mengusahakan agar komunitas gerejawi masing-masing memberikan bantuan kepada umat beriman kristiani, supaya hidup perkawinan dipelihara dalam semangat kristiani serta berkembang dalam kesempurnaan. Bantuan yang diberikan itu antara lain: 1] dengan kotbah, katekese yang disesuaikan bagi anak-anak, kaum muda serta dewasa, juga dengan menggunakan alat-alat komunikasi sosial, agar dengan itu umat beriman mendapat pengajaran mengenai makna perkawinan kristiani serta mengenai tugas suami-istri dan orangtua kristiani; 2] dengan persiapan pribadi untuk menikah, supaya dengan itu kedua mempelai disiapkan untuk kesucian dan tugas-tugas kedudukannya yang baru; 3] dengan perayaan liturgi perkawinan yang bermakna agar dengan itu tampak bahwa suami-istri menandakan serta ambil bagian dalam misteri kesatuan dan cintakasih yang subur antara Kristus dan Gereja-Nya; dan 4] dengan bantuan yang diberikan kepada suami-istri, agar mereka dengan setia memelihara serta melindungi perjanjian perkawinan itu, sampai pada penghayatan hidup di dalam keluarga yang semakin hari semakin suci dan semakin penuh.[11]
Bagi orang katolik yang hendak menikah sangat dianjurkan supaya mereka sudah menerima terlebih dahulu sakramen penguatan (kan. 1065 §1). Juga, demi kepenuhan hasil dari sakramen perkawinan itu sendiri, sangat dianjurkan supaya mempelai menerima sakramen tobat serta sakramen Ekaristi mahakudus terlebih dahulu (kan. 1065 §2). Namun, satu hal yang harus diperhatikan oleh para imam adalah sebelum perkawinan diteguhkan, haruslah pasti bahwa tiada suatu hal menghalangi peneguhannya yang sah dan halal.
Salah satu bantuan yang wajib diusahakan oleh para gembala umat bagi kaum beriman yang hendak menikah adalah dengan mengadakan perayaan liturgi yang bermakna bagi kedua mempelai dan seluruh umat yang hadir. Persis pada bagian inilah sisi pastoral dari liturgi sakramen perkawinan bermain. Kerap kali banyak umat dan para imam menghendaki supaya upacara penerimaan sakramen perkawinan disesuaikan dengan adat budaya setempat yang ada. Dan, kiranya di sinilah makna inkulturasi dalam liturgi Gereja mendapat tempatnya. Hal ini ditegaskan dalam Konstitusi Liturgi yang memberi alasan untuk pembaharuan dalam liturgi: “Sebab dalam liturgi terdapat unsur yang tidak dapat diubah karena ditetapkan oleh Allah, maupun unsur-unsur yang dapat berubah, yang di sepanjang masa dapat atau bahkan harus mengalami perubahan, sekiranya mungkin telah disusupi hal-hal yang kurang serasi dengan inti hakekat liturgi sendiri, atau sudah menjadi kurang cocok” (SC. 21). Dari ungkapan ini dapat dimengerti bahwa inkulturasi dipandang perlu karena ada bagian-bagian liturgi yang bisa saja disusupi hal-hal yang sebenarnya tidak cocok dengan liturgi sebagai ungkapan iman yang sehat. Dengan kata lain, inkulturasi dapat dimengerti sebagai “pengungkapan/perayaan liturgi Gereja dalam tatacara dan suasana yang serba selaras dengan citarasa budaya umat yang beribadat”.[12] Secara khusus Konstitusi Liturgi juga menerima masuknya ritus atau tatagerak dari adat lokal ke dalam ritual perkawinan (KL. 77), akan tetapi dengan syarat bahwa ritus tersebut secara jelas mengungkapkan arti pernikahan kristiani, menekankan rahmat sakramen, dan menggarisbawahi kewajiban-kewajiban suami-istri (KL. 77).
3) PENUTUP
1. KESIMPULAN
Tujuan keluarga yang ketiga adalah Tuhan menginginkan keluarga itu kudus karena ini menjadi sifat Allah yang ingin dinyatakan melalui keberadaan keluarga. Kata kudus dengan suci merupakan dua kata yang sangat terkait erat sekalipun kudus dengan suci mempunyai pengertian yang berbeda. Kudus mempunyai pengertian dikhususkan/dipisahkan untuk satu tugas yang Allah ingin kerjakan melalui mereka dan di dalam diri mereka. Sebagai orang kudus kita dipisahkan dan mempunyai relasi khusus dengan Allah, dan specifikasi ini membuat hubungan kita dengan Allah baik. Namun ketika hubungan yang baik ini dirusak atau diselewengkan (ketika kita memiliki ilah lain), itu disebut sebagai perzinahan rohani. Dan untuk menghindar dari hal itu, kita mengkaitkannya dengan kesucian, dan inilah yang membuat tiga kata itu tercampur menjadi satu. Maka dalam aspek ini kita harus kembali memilah dan mengerti sifat kudus yang dinyatakan dalam ayat 24.
Ketika seorang laki-laki dipisahkan dan bersatu dengan isterinya, dan keduanya menjadi satu daging, maka mulai muncul sifat kekhususan atau exclusive dalam keluarga tersebut, yang meliputi beberapa aspek: pertama, Two become one (1 + 1 = 1). Alkitab jelas menegaskan bahwa konsep kudus pernikahan adalah satu pria (tunggal) dan satu wanita (tunggal) sehingga keduanya menjadi satu daging, dan kalimat ini diulang beberapa kali dengan kata dan jumlah angka yang tepat. Pernikahan Kristen adalah monogami murni dan mutlak supaya terjadi kesempurnaan. Tetapi apabila kesempurnaan itu ditambah ataupun dikurangi akan mengakibatkan kerusakan internal karena menjadi tidak sempurna. Maka monogami di dalam kekristenan bukan sekedar rekayasa manusia tetapi didalamnya ada unsur bagaimana kekekalan dan kesempurnaan ingin digenapkan melalui keluarga dan bagaimana manusia, pria dan wanita sedang menggambarkan satu komplementasi yang sangat penting untuk menjaga kekudusan mereka di dalam menjalankan misi Allah. Politik di dunia membuat komposisi pria-wanita menjadi tidak seimbang karena setiap tahun berjuta-juta pria dikorbankan dalam peperangan. Namun hal ini tidak dapat dijadikan alasan untuk membenarkan mereka yang poligami, justru yang harus mereka lakukan adalah menghentikan peperangan dan komposisi dikembalikan. Tetapi hal itu akan sangat sulit dilakukan akibat dosa sudah merusak moralitas dunia kita. Di jaman Musa (+ 1600 SM), ide monogami bukanlah konsep umum yang dapat diimport melainkan konsep murni yang Allah tetapkan, yang menjadi perbedaan besar antara iman Kristen dengan seluruh konsep dunia hingga hari ini. Sehingga betapa indah kalau Tuhan mengajarkan suatu pengertian moralitas yang begitu tinggi untuk menjaga harkat manusia di dalam satu keutuhan supaya keluarga tetap kudus dan dipakai Tuhan sebagai saksi menyatakan kemuliaanNya. Namun sekarang ketika hukum sedang memperjuangkan harkat wanita, ada wanita yang senang dimadu. Ini menjadi pertanyaan serius bagaimana caranya harkat seorang wanita dapat ditegakkan dengan baik kalau ide seperti itu yang dikembangkan ditengah abad 20 ini?
Kedua, Monolitik eksklusif – suatu ungkapan keutuhan komplementasi. Nuansa eksklusifitas keluarga terjadi ketika suatu keluarga mempunyai bentuk monolitik (mono=satu; litik= satu batu utuh yang keras dan tidak dapat dipecahkan), yang artinya menjadi satu kesatuan yang unik, kekal dan sangat terikat. Hal yang penting dalam bagian ini adalah ketika seorang pria menikah, prinsip yang pertama kali yang harus dipikirkan adalah ia harus berani bertanggungjawab menjadi mandiri. Pria yang belum mampu berdiri, belum mampu bertanggungjawab dan tidak tahu bagaimana mengurus keluarga maka ia belum layak untuk menikah karena ia belum dewasa! Seorang pria harus mempunyai digniti, keberanian dan berjuang sekuat tenaga bekerja karena ia bertanggungjawab atas istri dan anaknya, membangun keluarga menjadi satu keutuhan monolitik eksklusif. Satu jiwa yang tidak boleh cengeng dan lemah melainkan terus berani berjuang di tengah hidup.
Ketiga, Independence and Responsibility (meninggalkan ayah dan ibu). Dilain pihak orang tua tidak boleh mengacak-acak keluarga anaknya. Anak setelah dewasa dan menikah maka ia keluar dan lepas dari ikatan keluarga dengan ayahnya. Seringkali di dalam budaya timur, apalagi dalam konsep confusionism aspek ini sangat berbahaya karena tidak mempunyai konsep Allah yang berpribadi dan yang berdaulat, sehingga ide seluruhnya hanya menegakkan humanisme murni. Sehingga konsep kedaulatan otoritas dipindahkan ke konsep yang paling tua/ paling besar dan timbul konsep otoritas ditangan yang lebih tinggi dan tidak bisa salah (seperti: raja berkuasa atas bawahannya; orang tua berkuasa atas anaknya). Maka kalau keluarga dikuasai oleh konsep confusionism, biasanya yang terjadi: ayah menjadi diktator dan semua yang dilakukan orang tua adalah benar dan tidak ada protes; biasanya istri takut sekali terhadap suami sehingga banyak aspek yang tidak dapat diceritakan pada suami, khususnya yang bersifat negatif. Sehingga hubungan suami-istri tidak dapat “telanjang” lagi; dan anak-anak ketika di dalam rumah bersikap baik karena takut tetapi diluar rumah menjadi minder atau liar (kalau mempunyai jiwa berontak). Alkitab mengajarkan bahwa bagaimanapun ayah adalah orang dan dapat berbuat salah sehingga ketika anak mereka sudah menikah maka orang tua tidak berhak turut campur dalam urusan keluarga anak, sekalipun anak tetap harus hormat terhadap orang tua. Karena hormat bukan berarti taat mutlak melainkan bagaimana menghargai orang tua. Disini kita harus sadar bahwa setiap keluarga mempunyai satu keunikan monolitik yang dijaga oleh firman Tuhan dan firman Tuhan mempunyai satu tuntutan bagaimana keluarga itu nanti akan dipakai oleh Tuhan untuk menjadi saksi Tuhan dimanapun mereka berada. \
Banyak orang yang beranggapan salah bahwa anak merupakan milik mereka sehingga kita merasa berhak menentukan seluruh kehidupannya. Kita harus sadar bahwa setiap anak merupakan milik Tuhan yang dipercayakan kepada kita sehingga kita harus membesarkan dan mendidik dengan tepat dan bertanggungjawab pada Tuhan. Banyak keluarga muda harus diam-diam menghadapi kesulitan dan pertengkaran dikarenakan harus menuruti orang tua dan tidak dapat menjalankan kehendak Tuhan atas pernikahan mereka serta kehilangan otoritas. Maka sebagai orang tua kita harus belajar bagaimana mengerti wilayah kerja, nasehat dan pengaruh orang tua terhadap anaknya. Dan firman Tuhan dalam hal ini melalui Musa menegaskan bahwa ini merupakan satu pengertian umum yang harus diterapkan kepada semua manusia di segala jaman, dan bukan hanya untuk Adam dan Hawa saja.
Keempat, Holiness/ Kesucian – tidak tercemar vs. Nude. ay. 25 mengatakan: “Keduanya telanjang, manusia dan isterinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu.” Alkitab membedakan antara arom/ naked (arumim: plural) dengan “’nude”. Kata “arom” lebih menunjukkan satu keterbukaan spiritual dimana antara saya dengan orang lain sudah terjadi keterbukaan relasi yang tanpa batasan lagi. Kata “telanjang” saat ini sudah mengalami pengerusakan makna dan diselewengkan sehingga menjadi pengertian yang sangat duniawi sekali. Disini yang dipermasalahkan bukanlah telanjang-nya melainkan keutuhannya, yaitu suatu gambaran keintiman. Sehingga beda dengan kata “nude” yang lebih mengarah kepada ketelanjangan secara fisikal/ seksual. Maka ide tidak malu disini tidak sama dengan binatang atau nudisme karena pada binatang memang tidak perlu ada malu sedangkan malu yang sejati bukan atar manusia melainkan lebih kepada Allah (band Kej. 3:9). Ketika dikatakan keduanya telanjang dan tidak menjadi malu, yang ditekankan di dalam kalimat ini adalah keduanya berada dalam satu keterbukaan total sehingga relasi ini berjalan secara polos dan tidak ada hal yang perlu disembunyikan dan tidak ada satu ketakutan berhadapan dengan orang lain. Maka ketika Adam berdosa dan akan berhadapan dengan Allah ia merasa malu karena telanjang. Sehingga ide “malu” adalah penggambaran suatu kecemaran dimana relasi sudah tidak murni lagi akibat dosa! Demikian juga halnya dengan hubungan suami-istri yang sudah tercemar oleh hal-hal yang berdosa akan mengakibatkan mereka kehilangan hubungan relasi pribadi yang sangat eksklusif. Dengan demikian di dalam membicarakan keluarga as a holy family kita harus kembali melihat bagaimana sifat kekudusan yang Tuhan nyatakan di dalam format keluarga tersebut, dimana hubungan suami-istri yang terbuka, menjadi satu daging dan satu kesatuan relasi spiritual yang begitu indah.
Kelima, Spirituality vs. Sexuality. Keil dan Delitzsch melihat relasi suami-isteri yang masih dalam kesucian adalah “terbuka” dan “tidak malu.” Sehingga ide “telanjang” disini bukan merupakan ide fisikal melainkan spiritual (kerohanian kita) dimana satu hubungan batin antara kita dengan suami/ istri sama dengan hubungan kita dengan Allah yang dapat berjalan dengan baik satu sama lain. Sehingga ini perupakan aspek yang sangat serius dari arti pengudusan keluarga. Namun ketika dosa masuk, maka spiritualitas menjadi rusak dan manusia hanya melihat “ketelanjangan”/sifat seksualitas dan bukan “keterbukaan” ataupun sifat spiritual. Maka hubungan suami-istri hanya dilihat secara seksual dan bukannya spiritualm yang akhirnya menimbulkan banyak masalah karena sangat bersifat kedagingan. Aspek seksualitas sesungguhnya hanya menjadi pelengkap dan bukan merupakan tujuan yang utama dalam pernikahan. Disini tidak heran ketika dunia mendengar kata “telanjang” selalu beridekan seksualitas yang tanpa sadar sudah meracuni banyak orang, termasuk orang Kristen, sehingga kita tidak mampu lagi melihat apa artinya telanjang sebenarnya. Sehingga kita sebagai orang Kristen harus mengembalikan pengertian eksklusifitas sifat kudus yang tidak melanggar kesucian, karena ketika kita kudus, itu bukan berarti kesucian kita boleh dicemarkan melainkan kekudusan itu sangat terkait erat dengan sifat kesucian di dalam keluarga. Saya harapkan keluarga kita mempunyai konsep Kristen yang tepat sehingga relasi spiritual suami-istri juga boleh dipulihkan. Kitab Kejadian ps. 2 telah ditulis sejak 3600 tahun yang lalu, namun seringkali orang Kristen sendiri tidak mempunyai kekuatan untuk menyatakan diri ke tengah dunia.
2. DOA PENUTUP
Ya Tuhan yang maha pengasih dan penyayang, terima kasih atas semunya ini, sekarang kami telah menyelesaikan pembinaan kursus persiapan perkawinan ini, berkatilah kami dan segala rencana kami kedepannya nati, semoga semua adalah naungan-Mu. Amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar