SEJARAH BERDIRI KEUSKUPAN KRISTUS RAJA
SINTANG-KALIMANTAN BARAT
Oleh:
Silvester Nyawai
1.1 PENDAHULUAN
Dalam kenyataannya, setiap orang katolik dipanggil oleh Allah untuk mewartakan sabda-Nya, hal yang demikian menjadi salah satu tugas pokok setiap orang beriman yang telah menerima Yesus sebagai tujuan dan dasar hidupnya. Menjadi pewarta sabda Allah, bukalah hal yang mudah, segala perkataan hendaklah harus nyata dalam segala tindakan. Meskipun demikian, Yesus tidak membiarkan kita seorang diri, Ia selalu menyertai kita, dalam penginjil Matius 28:18-20 dikatakan (Yesus mendekati mereka dan berkata: "Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman).
Perintah Yesus kepada murid-murid-Nya merupakan hal yang harua ada dalam kehidupan umat katolik sepanjang masa. pada masa sekarang hidup kita sebagai murid-murid Yesus tidak lagi mengemban tugas mewartakan seperti para misonaris-misonaris pada masa lalu, akan tetapi semangat, ketekuanan dan hidup sebagai hamba Allah yang setia mereka alami hendaklah harus selalu ada dalam hidup kita.
Mempelajari, mendalami dan menemukan spiritualitas para misonaris yang membuat meraka gigih dalam mewartakan sabda Allah dan menghidupinya dalam diri kita merupakan langkah yang amat baik bagi kita sebagai pewarta sabda pada masa kini. Salah satu cara menemukanya adalah dengan melihat, dan mempelajari kembali sajarah berdirinya agama dan gereja ditempat asal kita akan memudahkan bagi kita untuk menyampaikan kabar gembira dari Allah kepada umat-umat-Nya.
Dengan berdasarkan itulah, dan terdorong dari tugas matakuliah Sejarah Gereja Indonesia maka saya akan membuat sekilas cerita sejarah berdirinya Gereja Katolik Kristus Raja, Keuskupan sintang.
1.1.1 SEJARAH BERDIRINYA KEUSKUPAN SINTANG
1.1.2 Awal Mula
Keuskupan Sintang adalah keuskupan yang terletak di Kalimantan Barat, tepatnya adalah pada bagian paling hulu sungai Kapuas dan melawi. Berdasarkan sejarah yang dibuat oleh seorang Pastor asli putra dari keuskupan siantang, yaitu Almarhum Pastor Matheus Rampai, Pr, yang dibuat pada tanggal 15 Juli 1983 di sintang, pada waktu itu Kesukuspan sintang meliputi dua kabupaten, yaitu Kabupaten sintang dan Kapuas Hulu (Putussibau), akan tetapi pada masa sekarang, keusukupan sintang telah mencakup 3 kabupaten diantaranya adalah Sintang, Putussibau dan Melawi.
Pada waktu itu, Keuskupan Sintang yang wilayah yang luasnya 65.000 km2 ini hanya mempunyai hubungan melalui sungai dan jalan setapak. Menurut sensus yang diadakan pada tahun 1980, jumlah orang yang telah mengakui iman Katolik adalah sejumlah berjumlah 130.966 jiwa (33,4 %). Dengan melihat jumlah jiwanya, penganut agama Katolik di keuskupan sintang amat besar. Dari sekian banyak yang menganut agama Katolik, kebanyakan adalah suku dayak.
Ibarat dengan sebuah biji yang kecil dan hampir tidak kelihatan, Gereja Keuskupan sintang bermula dari wilayah Sejiram. Pada waktu Nusantara masih di bawah satu Vikariat Apostolik Jakarta, para misonaris sudah memiliki maksud mendirikan karya misi di antara orang-orang Dayak di Kalimantan. Terdapat dalam surat Vikaris Apostolik dari Batavia, tepatnya pada tanggal 25 Pebruari 1884, dengan nomor 178, Mgr. Claessens menghimbaukan tentang pertemuannya dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Buitenzorg (bogor), yang menyatakan kemungkinan pemerintah Belanda memberi daerah Borneo bagi Misi Katolik. Isi surat tersebut mengatakan bahwa penjejekannya di tanah Kalimantan cukub baik, karena misi Katolik dapat diterima oleh orang-orang dayak.
Pada tanggal 7 Agustus 1884 surat ijin untuk memulai misi di tanah Kalimantan dikeluarkan, yang dimulai dari daerah-daerah yang dibawah kepemerintahan Belanda pada waktu itu. Adapun daerah-daerah tersebut adalah Sambas, Mempawah dan Sintang. Menurut Pater Staal yang beberapa kali mengadakan perjalanan guna melihat situasi yang ada, pada akhirnya beliau menganjurkan supaya misi dimulai di antara orang-orang Dayak yang diam di sekitar Bengkayang, khususnya di kampung Sebalau. Darah itu tidak terlalu jauh dari Singkawang, sehingga Pastor Singkawang dan Pastor Sebalau dapat mudah berhubungan.
Dengan melihat keterangan yang demikian Residen Gijbers dari Pontianak, meminta supaya Pater Staal mengunjungi daerah-daerah Semitau, pusat orang-orang Dayak dari Suku Rambai, Seberuang dan Kantuk. Pater memiliki kesan yang baik terhadap umat di Semitau yang pada waktu itu jumlah mereka 1500 orang. Akan tetapi, pater tetap pada pilihannya adalah Sebalau. Pemikiran Pater tidak hanya sampai disitu, ia kembali memikirkan pilihannya. Pada waktu itu, Sebalau masih ada dalam kepemerintahan kekuasaan Sultan Sambas, akhirnya pilihan tersebut jatuh lagi pada daerah Semitau. tempat kedudukan seorang Kontrolir yang membawahi daerah Kapuas Hulu. Residen Sintang menyetujui rencana itu dan menyatakan bahwa Suku Seberuang, Rambai dan Kantuk cukup taat pada Pemnerintah Belanda dan mereka bersedia menerima Misi Katolik.
Misi katolik disetujui dengan kedudukan di Semitau, dan itu terlihat dari surat keputusan yang dikeluarkan pada tanggal Surat Dinas tanggal 14 Juni 1890, nomor 252, yang berdasarkan Surat Dinas Kabinet tanggal 29 Juli 1889, nomor 7. Dengan demikian, diutuslah seorang misonaris yang bernama Pastor Looymans (Misionaris Pertama) dan tiba di semitau pada Tanggal 29 Juli 1890. Pada waktu itu, semitau bukanlah tempat daerah yang staratgis untuk mewartakan, karena daerah tersebut merupaka daerah perdaganagan dari desa-desa sekitarnya. Sedangakan penduduk yang banyak di daerah itu adalah penduduk Cina dan Melayu.
Tapatnya pada tahun 1892, tiga orang yang bersaudara berasal dari Sejiram yaitu Babar, Bantan dan Unang menyemput Pastor Looymans untuk bekarya di Sejiram. Di sejiramlah Pastor Looymans membangun rumah, Tempat itu terletak di antara 4 kampung orang Dayak. Jarak setiap kampung sekitar lima menit berjalan kaki. Di tempat itu kemudian dibangun gereja, sekolah dan pondok untuk anak-anak sekolah.
Dalam jarak waktu tujuh bulan, Pastor Looymans sudah mempermandikan 58 orang anak. Di sini pun, seperti di tempat lain, harapan terutama terletak pada anak-anak muda. Pada tahun 1893 Pastor Looymans yang sendirian dan kurang terpelihara hidupnya dibantu oleh Pastor Mulder. Sayang karya mereka tidak dapat beretahan lama. Daerah yang baru dirintis itu hanya dapat dilayani beberapa tahun saja. Pada tahun 1898 Sejiram terpaksa harus ditinggalkan, karena tenaga mereka diperlukan di tempat lain yang lebih mendesak. Di tahun 1900 Pastor Schrader pernah sekali mengunjungi Sejiram. Sesudah itu Sejiram tidak pernah dikunjungi lagi sampai tahun 1906.
1.1.3 Sintang Sebagai Bagian Wilayah Prefektur Apostolik Kalimantan
Kalimantan Prefektur Apostolik menjadi Pada tanggal 11 Pebruari 1905 dengan meliputi Kalimantan dan tergolong dalam kepemerintahan Belanda, tepatnya di Kota Pontianak dan dipercayakan kepada Ordo Kapusin, pada waktu itu Prefektur Apostolik yang pertama adalah Pater Pacificusm, yang diangkat pada pada tanggal 10 April 1905. Allah tidak membiarkan domba-domba-Nya kehilangan, Ia selalu memberikan seorang gembala kepada umat-umat-Nya, terbukti sejak ditinggalkan sejak pada Tahun 1898, baru bulan Mei 1906 bekas Stasi Sejiram dikunjungi lagi. Pada tanggal 22 Agustus 1906 dibuka kembali, pada waktu itu dua orang Pastor dan dua orang Bruder yakni: Pastor Eugenius, Pastor Camillus dan Bruder Theodorius, diutus ke Sejiram dan menetap di situ.
Melalui kemurahan hati Allah, pewartaan di daerah tersebut diperkokoh lagi oleh kedatangan para Suster-suster dari Ordo Fransiskanes dari Veghel, yaitu Sr. Didelia, Sr. Casperina dan Sr. Cayetana. Dengan kedatangan para misionaris tersebut menjadikan titik awal yang baru bagi perkembangan Gereja di wilayah ini, ibarat benih sudah ditanam dan kini mulai tumbuh. Meskipun Gereja dan bangunan yang lain tidak ada lagi ditanah Sejiram yang dibangun oleh Pastor Looymans, akan tetapi benih iman dengan pembptisan masih ada dan terus bertumbuh, tampak pada setiap hari minggu mereka berkumpul sekitar 50 orang.
Para misionaris memandang perlu untuk meningkatkan perekonomian orang dayak pada waktu itu, dengan tujuan supaya meraka dapat membuka diri dan mulai bertumbuh, maka salah satu usaha yang dilakukan oleh para misionaris adalah membuka sekolah dan perkebunan. Kenyataannya pada masa sekarang itu sudah tidak ada lagi, akan tetapi hal yang terdalam artinya dampak dari usaha tersebut masih keliahatan sampai pada saat ini.
Tidak semua maksud yang baik selalu ditanggapi dengan tindakan yang baik. Walaupun usaha para misionaris pada waktu itu bermaksud untuk memajukan orang-orang dayak dengan meminta anak-anak mereka untuk sekolah, akan tetapi hal tersebut tidak diterima oleh orang-orang dayak. Akan tetapi, dengan demikian para Misionaris tidak menyerah dengan keadaan yang terjadi pada waktu itu. Untuk mendapatkan muri-murid yang mau sekolah, para misionaris harus melakukan perjalanan berjam-jam, berhari-hari untuk mencari murid-murid yang mau sekolah, memberikan pengertian kepada orang-orangtua dari suku dayak supay mereka memberikan ijin kepada anak-anaknya untuk sekolah. Karena meliaht kenyataan yang ada, malah situasi mencari murid-murid ke kampung-kampung pada akhirnya mereka berdatangan sendiri. Akan tetapi penyakit lama terus terjadi sampai pada saat itu. Kini yang menjadi hambatan adalah masalah dana. Hal yang menarik adalah kebanyakan orang dayak pada waktu itu suka dengan Gereja Katolik adalah karena Gereja Katolik mampu meningkatkan hidup mereka, itu kiranya bukan hanya terjadi di kalangan orang Dayak, tetapi bisa terjadi di seluruh dunia.
Patut untuk disyukuri bahwa perkambangan Gereja pada waktu itu bukan hanya terjadi di Sejiram saja, akan tetapi karya Roh Kudus Allah yang memberikan kekuatan dan semangat kepada para Misionaris untuk mewartakan sampai pada daerah pedalaman. Di Sejiram adalah pusat Stasi, sedangakan wilayah-wilayah stasi Sejiram adalah Keuskupan Sintang dan Keuskupan Sanggau. Dari Sejiram, seluruh wilayah ini dilayani dengan perahu, motor-boat dan jalan kaki. Kegiatan utama dalam kunjungan ke Stasi-stasi adalah sembahyang, pelajaran agama, permandian dan mencari anak-anak yang mau disekolahkan di Sejiram. Dalam arsip dapat dilihat kebanggaan seorang Pastor yang baru pulang dari kunjungan ke Stasi-stasi, selan dari umlah permandian, juga berapa anak yang berhasil dibawa ke Sejiram untuk disekolahkan. Semangat untuk mewartakan Kabar Gembira terus menerus berkembang.
1.1.4 Prefektur Apostolik Sintang - Misionaris Monfortan
Berdasarkan surat tertanggal 23 September 1938 Kongregasi untuk Penyebaran Iman memberi persetjuan kepada Mgr. T. van Valenberg OFM Cap. untuk menyerahkan bagian timur dari Vikariatnya, yaitu Keresidenan Sintang, kepada Misionaris Monfortan. Dengan berdasarkan surat tersebut, maka tarekat Monfortan mengutus Pastor L’Ortye, Pastor J. Linsen dan Br.
Pada Tanggal 16 Maret 1939 tiga orang Misionaris Monfortan pertama itu berangkat dari Belanda. Pada tanggal 4 April 1939 mereka tiba di pelabuhan Pontianak. Bapak Uskup Tarcitius van Valenberg mengangkat Pastor L’Ortye sebagai pemimpin Misi Monfortan, yang mempunyai wilayah dari Sintang sampai Kapuas Hulu. Mula-mula daerah itu akan dilayani bersama oleh Misionaris Kapusin dan Monfortan. P. L’Ortye memilih Bika sebagai basis wilayah kerja. Dalam tahun 1940 dua Misionaris Monfortan lainnya tiba, yaitu Pastor L. van Kessel (yang kemudian menjadi Prefek Apostolik Sintang yang pertama) dan Pastor J. Wintraecken.
Paroki di Putussibau mulai didirikan pada tanggal tanggal 10 Juni 1939 Pastor J. Linsen. Dengan alasan yang sama itu juga, Stasi Sintang dibuka pada tahun 1932, yaiyu dengan diperlukannya tenaga Suster di Rumah Sakit. Pada tahun 1942 Pastor dan Bruder, Misionaris Kapusin dan Monfortan, serta Suster-suster Fransiskanes dari Veghel dan Suster-suster Antonius Fransisikanes dari Asten mulai dikumpulkan. Kemudian mereka semua dibawa dan ditahan di Kamp Tahanan Kucing (Serawak). Selama Perang Dunia II boleh dikatakan tidak ada lagi Misionaris yang boleh tinggal di Kalimantan Barat. Hanya dua orang Pastor yang mendapat ijin melayani umat selama perang, yaitu Pastor Bong dan Pastor Adikarjana. Mereka dua mengambil tugas dari 32 orang Pastor, 40 orang Bruder dan 123 orang Suster. Paroki-paroki di bagian Hulu Kapuas hanya beberapa kali dapat dikunjungi oleh Pastor Adikarjana,yang berkedudukan di Pontianak selama Perang Dunia II tersebut. Baru pada tanggal 4 Desember 1945 para Misonaris Kalbar diperkenankan pulang ke Pontianak. Dan beberapa bulan kemudian, tepatnya bulan Maret 1946 para Misionaris diperkenankan pergi ke tempat tugas masing-masing.
Pada tahun yang sama 10 orang Monfortan berangkat dari Belanda. Kedatangan mereka itu memungkinkan Misionaris Kapusin menyerahkan seluruh wilayah Keresidenan Sintang kepada Misionaris-misionaris Monfortan sepenuhnya. Penyerahan dan pengambil-alihan itu berlangsung dari bulan Nopember 1946 sampai Januari 1947. Misionaris-misionaris Monfortan ini terus mengembangkan daerah dan pusat-pusat Misi baru sesuai dengan perkembangan umat dan kebutuhan pelayanan. Pada taun 1947 dibuka Stasi Nanga Serawai yang terletak di Hulu Melawi, sedangkan pada tahun 1949 dibuka Stasi baru lagi di bagian tengah Sungai Melawi, yaitu di Nanga Pinoh, sebuah desa dagang di mana banyak penduduknya terdiri dari keturunan Cina. Pada tahun yang sama, 1949, dibuka juga Stasi baru diNanga Beloh, di Hulu Ketungau. Akan tetapi pada tahun 1953 pos itu terpaksa harus ditinggalkan karena beberapa kesulitan.
1.1.5 Sintang Menjadi Wilayah Gerejawi
Dengan Dekrit Kongregasi Propaganda Fidei, tertanggal 11 Maret 1948, wilayah Sintang menjadi Wilayah Gerejani yang berdiri sendiri, menjadi Prefektur Apostolik dengan Prefeknya yang pertama Mgr. Lambertus van Kessel, SMM. Pada waktu itu wilayah Prefektur Apostolik Sintang mempunyai lima Stasi, yaitu: Sintang, Bika, Putussibau, Benua Martinus dan Nanga Serawai.Di samping itu, tahun 1948 ini juga ditandai oleh peristiwa bersejarah lainnya, khususnya bagi orang Dayak, dengan selesai dan kembalinya Pastor Aloysius Ding dari Seminari Ledalero, Flores. Pastor Aloysius Ding adalah orang Dayak pertama yang menjadi Pastor.
Pada tanggal 23 April 1956 Prefektur Apostolik Sintang menjadi Vikariat Apostolik dengan Mgr. L. van Kessel sebagai Administrator Apostolik. Pada tanggal 3 Januari 1961 Vikariat Apostolik Sintang menjadi Keuskupan Sintang, dengan Mgr. L. van Kessel, SMM sebagai Uskup yang pertama. Mgr. L. van Kessel, SMM memimpin selama 25 tahun dengan tekun dan dengan penuh pengorbanan.
Pada bulah Agustus 1973 Mgr. L. van Kessel, SMM mengundurkan diri, dan dalam waktu sementara tugas yang mulia itu di ambil alih oleh Pastor L. van de Born, sedangakan Mgr. L. van Kessel, SMM menghabiskan sisa waktu hidupnya di Belanda. Perundingan-perundingan dengan Misionaris OMI dan Lazaris dimulai, sehubungan dengan kemungkinan beberapa tenaga dari Misionaris tersebut yang pernah bekerja di Laos dan Vietnam, bekerja di Keuskupan Sintang. Akhir 1976 Pastor Lazaris pertama datang di Sintang. Sekarang Misionaris Lazaris berjumlah 7 orang dan OMI juga 7 orang. Kedua kelompok Misionaris itu berasal dari Propinsi Perancis.
Menjadi pewarta Allah dan mengemban misi untuk menghadirkan Kerjaan Allah ditanah Kalimantan, khususnya di sintang tidaklah mudah, banyak tantangan dan peristiwa-peristiwa yang terjadi. Pada akhirnya sebuah peristiwa bersejarah yang amat penting, tepatnya tanggal 19 Mei 1977 ialah ditahbiskannya Uskup Sintang yang baru, Mgr. R. Isak Doera, Pr. Kemudian pada permulaan tahun delapan-puluhan, tenaga di bidang pastoral dan sosial di Keuskupan Sintang bertambah lagi dengan datangnya dua kelompok rohaniwati, yaitu lima orang Suster Ursulin dan empat orang Suster Caritas.
Perkembangan umat yang begitu cepat tidak memungkinkan Pastor dapat melayani dan membimbing secara intensif. Umat yang tersebar di kampung-kampung perlu seorang pembimbing yang dekat dengan mereka. Sedangkan Pastor mesti melayani banyak kampung. Jadi mereka memerlukan pemimpin yang muncul dari masyarakat itu sendiri. Berawal dari inilah, para pastor pada waktu itu membentuk para pemimpin umat yang lulusan dari Sekolah Menengah Kateketik Atas (SKMA), yang kemudian diganti nama menjadi PGAK (Pendidikan Guru Agama Katolik). PGAK dan Kursus Pemimpin Umat adalah jawaban atas perkembangan umat di Kalimantan, khususnya di Sintang. Umat berkembang begitu banyak setiap tahun, sedangkan tenaga yang melayani mereka, khususnya rohaniwan-rohaniwati, bertambahnya tidak sebanding. Salah satu jalan pintas untuk dapat melalani yang makin besar jumlahnya dan untuk lebih mampu mengembangkan Gereja ialah mencetak katekis-katekis sendiri. Sebagai katekis mereka tidak diharapkan sebagai tenaga cadangan dari Pastor, atau sekedar “guru agama” yang mengajar di sekolah. Mereka diharapkan menjadi tokoh awam yang muncul dari umat yang sedang berkembang. Bersama Pastor, tokoh-tokoh awam lainnya, dan umat secara keseluruhan, mereka membangun dan membina gereja.
Rentetan sejarah ini menunjukan bahwa betapa besar karya Allah untuk mencintai umat-Nya. Kedatangan para misionaris pemula ke tanah dayak merupakan tindakan nyata Allah yang memanggil pribadi-pribadi yang mau mengembalakan domba-doamba-Nya ditanah Kalimantan. Semuannya sudah dimulai dengan bersusah payah, hendalah generasi pada masa sekarang harus meneruskannya, dengan demikian Allah semakin dipermuliakan ditanah Borneo tercinta.
1.2 BENTUK PEWARTAAN
Agaknya tidak mungkin bagi pemikiran orang-orang pada masa sekarang. Belajar sejarah bukan bearti kita ingin melihat kelemahan, kesalahan dan kekuarangan pada masa lalu, akan tetapi belajar sejara memberikan sebuah sumabangan keperihatinan hati untuk orang-orang katolik pada masa sekarang untuk memberanikan diri untuk menjadi pelayan Tuhan di tanah Kalimantan, tanah sendiri.
Situasi keperihatinan Hati itulah yang menyebabkan orang Kalimantan mengenal Tuhan. Semangat juang para misionaris pada waktu itu bukan timbul hanya dari diri mereka sendiri, akan tetapi sebuah tanggapan akan panggilan Allah yang bertujuan mulia. Meskipun mereka mengetahui bahwa ditempat yang akan mereka tuju mereka akan mengahadapi banyak tantangan dan godaan, akan tetapi karena keperihatinan hati dan atas dasar panggilan Ilahi mereka memberanikan diri untuk membawa kabar Gembira dari Allah kepada orang dayak yang masih tergolong orang yang hidup didaerah pedalaman.
Memasuki segala jenis, bentuk segi kehidupan orang dayak pada waktu itu, dan membawa mereka keluar dari jalan Iman kepada Yesus merupakan Misi awal pada Misionaris untuk membawa orang dayak menuju kepada hidup bersatu dengan Tuhan. Mendirikan sekolah, dengan berjalan kaki untuk mencari murid bukalah hal yang menjadi tantangan bagi mereka, akan tetapi kebahagian bagi mereka adalah mereka dapat membawa orang dayak kepada pengenalan akan kasih Kristus yang begitu besar kepada umat manusia.
Semangat dan ketekunan untuk mewartakan Allah membuat mereka berani menginjakan kaki ditanah kalimanatan. Dengan medan yang ditempuh berhari-hari tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk menyampaikan Sabda Allah kepada orang-orang yang haus akan firman Tuhan. Kasih Allah kepada mereka itulah yang menjadi kekuatan bagi mereka untuk mewartakan Allah. Meskipun tidak mendapat upah, akan tetapi spirit mereka tidak berkurang, karena meneurut mereka upannya yang mereka dapatkan adalah mereka bolah mewartakan kasih Allah kepada umat-Nya.
1.3 KESIMPULAN
Kauskupan Siantang bukanlah keuskupan yang muda, atau keuskupan yang dibentuk atas keinginan begitu saja, akan tetapi melalui proses yang amat panjang dan melibatkan bayaknya tenaga dan jiwa yang mengambil peran didalamnya. Berawal dari tanah Semitau dan berkembang ke tanah Sejiram pada akhirnya menuju kepada Sintang merupakan proses yang seharusnya membuat mata hati umat beriman di Sintang tersentuh. Semangat dan perjuangan para misionaris pada waktu itu boleh diacung jempol, karena usaha mereka yang begitu tekun dan gigih membuat umat dayak mengenal Allah yang pengasih.
Selayaknya kehidupan ini yang terus berkembang dibentuk jaman, begitu juga Keuskupan Sintang. Berangkat dari Stasi yang ada dipedalaman, mampu membawa kepada kehidupan umat beriman semakin memuliakan Allah. Keuskupan Sintang tidak lagi seperti dulu, harus menampaki berjalan kaki sampai berhari-hari untuk melayani, akan tetapi dengan kemudahan teknologi dan informasi pada masa sekarang lebih memudahkan bagi pada pewarta sabda dalam melayani umat Tuhan.
Kini benih yang ditanam oleh para misionaris terdahulu sudah menjadi buah yang akan siap untuk dipetik. Kehidupan umat haruslah pertama-tama meneladani semangat Yesus Kristus dan para misionaris terdahulu dalam melayani Allah, dengan demikian apa yang telah ditanam pada waktu dulu akan menjadi pohon-pohon yang selalu memberikan keteduhan jiwa kepada setipa orang yang akan mernaung di bawahnya.
Belajar sejarah Keuskupan Sintang bukanlah membaut orang mengetahui akan prosesnya saja, akan tetapi hal yang harus menjadi terdahulu adalah memetik semangat dan spiritualitas para misionaris dalam melayani umat Tuhan di tanah dayak. Sekarang kita semua dipanggil untuk menjadi misionaris-misionaris pada saat ini. Dan menjadi misionaris pada saat ini memiliki tantangan tersendiri, akan kah kita mundur? Tuhanlah sumber kekuatan, dan pengharapan kita. Jika kita sudah meresakan itu semuan, maka kita akan selalu setia akan penggilan Allah untuk mewartakan-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
Dikutip dari Sejarah Keuskupan Sintang yang ditulis oleh Almarhum Pastor Matheus Rampai, Pr. Pada tanggal 15 Juli 1983, di Sintang.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar